Hal ini terungkap setelah pemeriksaan terhadap Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Kapusdatin) Badan Penyelenggara Haji, Moh Hasan Afandi, pada Jumat (12/9/2025).
“Saksi didalami bagaimana secara teknis jemaah haji khusus yang urutannya paling akhir (baru membayar 2024) namun bisa langsung berangkat,” jelas Budi.
Baca Juga:
BPK Finalkan Audit, KPK Soroti Dugaan Jual Beli Kuota Haji Bernilai Triliunan
Selain itu, KPK menduga adanya strategi agar sisa kuota haji khusus bisa dijual, yakni dengan memberikan tenggat pelunasan yang sangat singkat hanya lima hari, sehingga calon jemaah yang sudah mengantre sebelumnya kesulitan melunasi.
“Penyidik menduga ini dirancang secara sistematis agar sisa kuota tambahan tidak terserap dari calon jemaah haji yang sudah mengantri sebelumnya, dan akhirnya bisa diperjualbelikan kepada PIHK (travel haji) yang sanggup membayar fee,” ungkap Budi.
Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah telah mengatur secara tegas pembagian kuota, yakni 8 persen untuk haji khusus dan 92 persen untuk haji reguler sebagaimana tercantum dalam Pasal 64 Ayat (2).
Baca Juga:
Uang Korupsi Kuota Haji Diduga Dialihkan, KPK Buka Peluang TPPU
Namun pada kenyataannya, pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 dilakukan secara tidak proporsional, yakni 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus, yang disahkan melalui Surat Keputusan Menteri.
KPK menilai perubahan porsi tersebut menjadi salah satu akar masalah karena membuka peluang manipulasi dan jual beli kuota di tingkat travel.
Dalam kasus ini, KPK menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP yang menjerat pelaku korupsi yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara.