WahanaNews.co | Menyikapi pencabutan program poligami dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyesalkan kebijakan PKS yang memakai alasan dampak pandemi Covid-19 untuk menghendaki adanya poligami.
Dikatakannya, program tersebut semestinya tak muncul sejak tingkat internal partai. Ia mengatakan partai politik (parpol) harus lebih mengembangkan mekanisme uji cermat tuntas dalam mengeluarkan suatu kebijakan.
Baca Juga:
Viral di Medsos, Gegara Cemburu Dipoligami Istri di Sumsel Potong Penis Suami saat Tidur
"Protes dari masyarakat semestinya tidak perlu, jika di tingkat internal partai ada kesungguhan untuk meneguhkan kepemimpinan perempuan dan keadilan tanpa mengenali bahwa dampak pandemi Covid-19 mempengaruhi dengan signifikan kehidupan kelompok rentan khususnya perempuan," kata Andy dalam keterangan persnya kepada wartawan, Sabtu (2/10/2021).
Diketahui, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi mencabut program yang mengizinkan kadernya berpoligami dengan janda, setelah menuai protes dari publik. Program tersebut tertuang dalam Takzirah Nomor 12 tentang Solidaritas Terdampak Pandemi.
Salah satu poinnya menganjurkan poligami bagi kadernya yang mampu dan siap beristri lebih dari satu.
Baca Juga:
Viral, Pria Pengangguran Ini Hidup Berkecukupan Berkat Dukungan 4 Istri
Andy menyampaikan parpol seharusnya mendukung program pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19.
Misalnya, jika dimaksudkan untuk meringankan beban perempuan sebagai kepala keluarga, parpol dapat menyiapkan program-program pemberdayaan ekonomi dengan jalur pemasaran yang mumpuni.
"Partai juga dapat mendukung Program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) Anak yang dikembangkan Kementerian Sosial untuk layanan Rehabilitasi Sosial yang menggunakan pendekatan berbasis keluarga, komunitas, dan/atau residensial," lanjutnya.
Selain itu, Andy pun mengingatkan, anjuran PKS untuk berpoligami adalah bentuk diskriminatif pada perempuan.
Menurut pihaknya, kebijakan tersebut menunjukkan rasa tidak empati pada perempuan dan keluarga yang tengah berduka.
Kemudian, kebijakan tersebut juga dinilai menempatkan perempuan sebagai objek yang berujung rentan menjadi korban kekerasan.
"Dokumentasi Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan di dalam rumah tangga kerap terjadi dalam konteks poligami, baik poligami tercatat maupun tidak tercatat."
"Badan Peradilan Agama (Badilag) pada tahun 2020 mencatat bahwa poligami menjadi salah satu alasan perceraian, dimana sekurangnya ada 759 kasus," jelas Andy.
Andy menambahkan, kebijakan PKS yang akhirnya dicabut itu dipandang memposisikan perempuan sebagai sosok yang selalu tergantung kepada laki-laki sebagai kepala keluarga.
Hal tersebut juga dinilai meremeh kaum perempuan dalam menjalani kehidupannya.
"Jika dilanjutkan, kebijakan serupa ini akan menghalangi perempuan untuk dapat menikmati haknya bebas dari diskriminasi," tandasnya.
Diketahui, Ketua Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Surahman Hidayat telah resmi mencabut anjuran yang mengizinkan kadernya berpoligami dengan janda.
Ia pun meminta maaf atas kegaduhan yang timbul akibat anjuran tersebut.
"Setelah kami mendapat berbagai masukan dari pengurus, anggota dan masyarakat secara umum, kami memutuskan untuk mencabut anjuran poligami tersebut."
"Kami memohon maaf jika anjuran ini membuat gaduh publik dan melukai hati sebagian masyarakat Indonesia," ucap Surahman kepada wartawan, Kamis (30/9/2021).
Aturan tersebut akhirnya dibatalkan untuk mewujudkan prinsip tata kelola partai yang baik dengan mengedepankan prinsip transparan, akuntabel dan responsif terhadap masukan masyarakat.
Surahman menambahkan, PKS saat ini fokus untuk meringankan beban ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi, terutama anak-anak yatim.
"Perhatian utama kami adalah membantu meringankan kesulitan ekonomi masyarakat akibat terdampak pandemi," ujar Surahman.
Ia juga mengatakan, PKS sangat terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak di masyarakat.
"Ini merupakan bentuk perhatian yang besar dari publik terhadap jalannya organisasi partai," ucap Surahman. [rin]