WahanaNews.co, Jakarta – Dalam sidang pleno terkait permohonan uji materiil pasal yang mengatur presiden dan wakil presiden boleh berkampanye pada pemilu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak hadir, Selasa (6/2/2024).
Sidang tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan DPR, Presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk Perkara Nomor 166/PUU-XXI/2023.
Ketidakhadiran DPR itu dikonfirmasi dalam surat pemberitahuan yang dikirim ke MK.
Berdasarkan salinan surat melansir CNN Indonesia, surat tertanggal 29 Januari 2024 itu ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Dalam surat tersebut, Indra menjelaskan bahwa tim kuasa DPR tidak dapat hadir karena bersamaan dengan agenda rapat-rapat di DPR RI.
"Mohon kiranya dapat dijadwalkan kembali," tulis Indra.
Pantauan di ruang sidang, pihak Presiden diwakili kuasa oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri, KPU diwakili Komisioner sekaligus Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU RI Mochammad Afifuddin, Bawaslu diwakili Ketua Bawaslu Rahmat Bagja.
Sementara itu, advokat, Gugum Ridho Putra selaku pemohon hadir bersama kuasa hukumnya.
"Dari KPU hadir saya Mochammad Afifuddin, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan bersama tim biro hukum," ujar Afifuddin di persidangan.
"Saya Rahmat Bagja dari Badan Pengawas Pemilu. Didampingi biro hukum," jelas Bagja.
Ketua MK Suhartoyo lantas menjelaskan bahwa agenda persidangan hari ini adalah mendengar keterangan DPR, Presiden, Bawaslu dan KPU.
Kuasa presiden mendapat giliran pertama menyampaikan keterangan dalam persidangan. Disusul oleh perwakilan KPU, dan Bawaslu.
Gugum mengajukan permohonan uji materiil terhadap sejumlah pada UU 7/2017, yakni Pasal 1 angka 35, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2), hingga Pasal 299 ayat (1).
Dengan gugatan ini, Gugum ingin pemilu benar-benar dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil setiap lima tahun sekali sebagaimana diatur dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945.
Dia mengatakan UU Pemilu membolehkan Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Wali Kota untuk berkampanye. Kendati demikian, Gugum menilai UU Pemilu belum memperhitungkan sisi nepotisme dan penyalahgunaan jabatan dalam kampanye.
Sementara itu, kata Gugum, Pasal 5 angka 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme jelas melarang pejabat melakukan nepotisme.
Menurut Gugum, pejabat tidak boleh mengedepankan kepentingan keluarga dan 'kroni' di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
"Ketika Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Wali Kota diperbolehkan kampanye caleg atau Paslon yang merupakan anggota keluarga atau terikat hubungan semenda dengannya, maka menurut kami pada saat itu telah terjadi pembiaran atas nepotisme," jelas Gugum.
Dalam salah satu petitumnya, Gugum ingin MK mengubah ketentuan Pasal 299 ayat (1) UU 7/2017 menjadi berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak jabatan masing-masing."
"Jadi alasan permintaan petitum demikian adalah untuk mencegah jangan sampai Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan pejabat lain melakukan nepotisme dalam kampanye," ungkap Gugum kepada CNN Indonesia, Kamis (25/1/2024).
MK telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini pada 21 Desember 2023. Lalu, sidang perbaikan permohonan pada 22 Januari 2024.
[Redaktur: Alpredo Gultom]