WahanaNews.co | Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Fadil Zumhana membeberkan politik identitas dari kampanye terselubung di media sosial berpotensi memicu pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu.
"Persoalan mengenai meningkatnya kampanye terselubung yang dilakukan di dalam media sosial Facebook, Twitter, media sosial, penyebaran berita-berita bohong, palsu, negatif dan menyesatkan, menerapkan praktik politik identitas dan cenderung melakukan isu SARA sangat berbahaya dan potensi menimbulkan kebencian, menimbulkan konflik horizontal dan bertentangan hingga ke akar rumput," kata Fadil di acara Rakornas Sentra Gakkumdu yang digelar di Hotel Mercure Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (19/9/2022).
Baca Juga:
Soal Hasil Pilpres 2024: PTUN Jakarta Tak Terima Gugatan PDIP, Ini Alasannya
Kemudian, Fadil juga menyinggung perihal adanya batasan penanganan tindak pidana pemilu yang hanya berlaku 52 hari. Hal itu, kata Fadil, menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku pelanggar pemilu untuk mengulur waktu proses penegakan hukumnya.
"Ketentuan mengenai batasan waktu penanganan tindak pidana Pemilu paling lama 52 hari, yang terdiri dari 1 hari penyelidikan, 25 hari proses penyidikan, sampai dengan pelimpahan perkara 20 hari, untuk itu proses persidangan putusan tingkat pertama sampai dengan banding hanya 6 hari. Pelaksanaan putusan menyebabkan adanya limitasi waktu serta terdapat beberapa delik yang diancam dengan pidana penjara di bawah 5 tahun tidak dapat dilakukan penahanan, sehingga seringkali menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghindari jerat hukum dengan cara mengulur waktu proses penanganan perkara tindak pidana Pemilu karena dianggap melewat waktu dan kadaluwarsa," katanya.
Fadil menerangkan dewasa kini, masih banyak juga praktik politik uang yang dilaporkan berbagai pihak dalam setiap pelaksanaan pemilu.
Baca Juga:
KPU Labura Verifikasi Berkas Calon Bupati dan Wakil Bupati di Rantau Prapat: Pastikan Dokumen Sah
Fadil menyebut politik uang bukan hanya menciderai prinsip demokrasi tapi juga berpotensi mengganggu ketertiban.
"Masih banyaknya praktik-praktik politik uang yang dilaporkan berbagai pihak pada setiap pelaksanaan pemilu. Maraknya laporan tersebut secara tidak langsung menggambarkan masih adanya anggapan bahwa praktik politik uang merupakan jalan pintas untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, tanpa harus bersusah payah mensosialisasikan ide, gagasan dan program-program kerja lainnya," ujarnya.
Fadil juga menyoroti subjek hukum yang ada di dalam Undang-Undang Pemilu bukan hanya sebatas orang perorang, tapi juga lembaga dan perusahaan.
Untuk itu, kata Fadil, perlu adanya reformulasi terhadap beberapa delik agar disesuaikan antar subjek hukum dengan ancaman sanksi pidananya.
"Maka dipandang penting adanya reformulasi terhadap beberapa delik, sehingga diperoleh kesesuaian dan keserasian antar subjek hukum dengan ancaman sanksi pidana guna mempermudah proses penanganan perkara pelaksanaan putusan hakim," ungkapnya.
Oleh karena itu, Fadil meminta forum Rakornas Sentra Gakkumdu ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk penyelenggaraan pemilihan lebih baik. Tak hanya itu, kata Fadil, forum ini diharapkan dapat meningkatkan kesigapan dan kesiapan untuk mewujudkan iklim pesta demokrasi yang beradab.
"Dalam rangka mendukung penyempurnaan pelaksanaan pemilu, maka saya memandang agar forum rakornas kali ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin guna menemukan strategi, langkah yang tepat, baik dari penyelenggaran pemilihan itu sendiri maupun untuk proses penegakan hukum pemilu yang mungkin terjadi, sekaligus diharapkan dapat memperoleh formula desain baru yang lebih baik," kata Fadil.
"Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kesigapan dan kesiapan insan Sentra Gakkumdu dan stakeholder terkait. Sikap proaktif dalam mewujudkan iklim pesta demokrasi, jujur, adil, beradab, modern, sehingga tidak hanya mampu mendorong peningkatan pendidikan politik masyarakat, tapi juga dapat mendukung lahirnya pemimpin-pemimpin mumpuni, kompeten, dan berintegritas," tambahnya. [rin]