"Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10
persen," bunyi Pasal 12.
Hak
nazhir bisa dicabut apabila memenuhi salah satu kriteria antara lain meninggal
dunia, dibubarkan (apabila nazhir berbentuk organisasi/badan), permintaan
nazhir sendiri, tidak melaksakan tugas sebagai nazhir, dan nazhir dihukum
pidana.
Baca Juga:
Dianggap Ilegal, Nama-nama Bayi ini Dilarang Digunakan di Sejumlah Negara
Harta
wakaf sendiri terbagi menjadi dua, yakni harta tak bergerak dan harta bergerak.
Harta
tak bergerak berupa tanah dan bangunan.
Sementara
harta bergerak, sebagaimana diatur UU Nomor 41 Tahun 2004, antara
lain berupa uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan
intelektual, hak sewa, dan harta bergerak lainnya sesuai ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca Juga:
Masyarakat Kerinci Kerahkan Pawang Hujan, Antisipasi Cuaca Buruk saat Evakuasi Kapolda Jambi
Pemerintah
sendiri sudah membentuk badan yang secara khusus mengelola aset wakaf lewat
Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Harta
wakaf tidak boleh dipergunakan selain untuk: Sarana dan kegiatan ibadah; Sarana
dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; Bantuan kepada fakir miskin, anak
telantar, yatim piatu, beasiswa; Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; serta Kemajuan
kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan
perundang-undangan.
UU
Nomor 41 Tahun 2004 juga mengatur terkait perubahan status wakaf, di mana harta
benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang (Pasal 40): Dijadikan jaminan; Disita;
Dihibahkan; Dijual; Diwariskan; Ditukar; serta Dialihkan dalam bentuk pengalihan
hak lainnya.