"Mulai dari jam 4 sore hingga 9 malam, saya tidak berada di rumah," kata Suwasik.
"Saya merasa butuh sesuatu... saya butuh waktu untuk menyegarkan pikiran... butuh tempat yang nyaman ketika saya merasa tidak nyaman di rumah... jadi saya sering keluar rumah. Kadang ngopi dengan teman-teman... supaya bisa mem-balance-kan pikiran saya lagi," katanya.
Baca Juga:
Anak Gagal Nyaleg, Kades di Tangerang Pecat 27 Ketua RT/RW
Suwasik bercerita hal yang paling membebani pikirannya adalah bagaimana memperbaiki keuangan keluarga setelah mengeluarkan uang untuk modal kampanye.
Pria paruh baya ini tak mau terus terang menyebutkan angka pasti. Yang jelas, menurutnya, di bawah ongkos kampanye pertamanya yang mencapai Rp300 juta.
Angka itu menurutnya kurang maksimal untuk mendulang suara lantaran caleg lain, klaimnya, menggelontorkan uang lebih besar untuk "serangan fajar" atau bagi-bagi duit ke warga pada hari pemilihan.
Baca Juga:
Oknum PPK Tulungagung Akui Otak-atik Hasil Pemilu: 1 Suara Dibayar Rp 100.000
Suwasik mengaku bahwa perasaan bakal kalah sebetulnya sudah muncul kala Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Karena sistemnya proporsional terbuka, jadi ini perang finansial... bukan perang figur atau kemampuan individu caleg. Kalau modal kita minim ya tidak bisa paksakan diri."
Itu mengapa Suwasik tidak terlalu berharap bisa menang. Dia bahkan tak lagi mengawal perolehan suaranya di tingkat kecamatan.