Namun, orang-orang akhirnya melakukan migrasi besar-besaran ke platform saingan WhatsApp.
Mereka menuju ke layanan yang menawarkan kemampuan pengiriman pesan yang sama dan aman, salah satunya Telegram.
Baca Juga:
Kasus Judol, Budi Arie Jadi Korban Pengkhianatan Pegawai Komdigi
Para penyelidik menyebut, terdapat jaringan besar peretas yang berbagi dan juga menjual kebocoran data di kanal dengan puluhan ribu pelanggan.
Frekuensi “email;pass” dan “combo” disebut dalam aplikasi setahun terakhir dan meningkat empat kali lipat.
Sejumlah dump data yang beredar di aplikasi berisi 300 ribu hingga 600 ribu kombinasi email dan password untuk game dan layanan email.
Baca Juga:
6 Juta Data NPWP Diduga Bocor, Termasuk Milik Jokowi dan Gibran di Daftar Utama!
Selain itu, penjahat siber juga menjual informasi soal keuangan, seperti nomor kartu kredit, salinan paspor, dan alat peretasan dari aplikasi.
"Layanan pesan terenkripsi makin populer di kalangan pelaku ancaman yang melakukan aktivitas penipuan dan menjual data curian. Karena lebih nyaman digunakan dari dark web," kata analis ancaman siber Cyberint, Tal Samra.
Samra mengatakan, selain lebih nyaman daripada dark web, Telegram juga disebut cenderung tidak diawali oleh pihak berwenang.