WAHANANEWS.CO, Jakarta - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan pakar hukum angkat suara dengan menyatakan dukungan atas gugatan warga senilai Rp 800 miliar terhadap Polda Sulsel yang dinilai lalai dalam pola pengamanan unjuk rasa hingga berujung ricuh dan membakar dua gedung DPRD di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Komisioner Kompolnas, Mohammad Choirul Anam, menegaskan bahwa gugatan tersebut adalah mekanisme hukum yang wajar dalam negara demokrasi.
Baca Juga:
Keluarga Diplomat ADP Ungkap Amplop Aneh dan Minta Presiden Prabowo Turun Tangan
“Saya kira itu hak semua orang untuk mengajukan gugatan hukum, saya kira pilihan untuk menggunakan mekanisme hukum yang ada adalah mekanisme terbaik dalam negara demokrasi, ini kita harus hormati,” ujarnya pada Rabu (10/9/2025).
Ia menambahkan bahwa proses gugatan ini dapat membuka fakta sebenarnya terkait peristiwa pembakaran gedung DPRD tersebut.
“Ini juga kesempatan bagi publik mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, sehingga bisa menjadikan konteks, kenapa kok ada kerugian gedung DPRD itu terbakar,” kata Anam.
Baca Juga:
Kompolnas Temukan Fakta Baru di Balik Kematian Diplomat Kemlu di Menteng
Menurutnya, bukan hanya soal angka kerugian yang harus dibahas, melainkan juga konteks peristiwa yang menyebabkan gedung terbakar.
“Saya kira prosedur hukum itu jadi kesempatan untuk membuka fakta-faktanya. Kami mendukung itu dibuka dalam ruang mekanisme hukum yang ada,” tambahnya.
Choirul Anam menegaskan pihak penggugat pun harus menghadirkan fakta yang rinci dan komprehensif.
“Saya kira rekan-rekan yang mengajukan gugatan juga bisa menjelaskan lebih komprehensif sehingga tidak hanya tuntutan, tapi jauh lebih dari itu adalah hak atas informasi, hak atas kebenaran faktual apa yang terjadi,” ucapnya.
Dari sisi akademisi, Pakar Hukum Pidana UIN Alauddin Makassar, Dr Rahman Syamsuddin, menyebut gugatan ini memiliki dasar hukum yang kuat.
“Gugatan ini mengingatkan kita pada prinsip dasar, Indonesia adalah negara hukum,” katanya.
Rahman menguraikan konsep onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
“Setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, mewajibkan pelakunya untuk mengganti. Jika benar ada kelalaian dalam pengamanan, maka gugatan ini sah secara hukum,” tegasnya.
Ia juga menyinggung aturan internal Polri seperti Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Menurutnya, aturan ini jelas mengatur bahwa polisi wajib hadir, terukur, dan bertanggung jawab dalam setiap pengendalian aksi.
Rahman menilai absennya aparat saat kerusuhan bisa menjadi alasan publik menggugat.
“Secara teori hukum, pertanggungjawaban bisa mengacu pada konsep fault liability (kelalaian), bahkan vicarious liability (tanggung jawab institusi atas bawahan),” paparnya.
Ia juga mengutip pandangan filsuf John Locke bahwa rakyat menyerahkan kebebasannya kepada negara demi jaminan rasa aman.
“Jika rasa aman itu gagal dijaga, kontrak sosial dianggap retak,” katanya.
Menurut Rahman, gugatan Rp 800 miliar itu bukan hanya soal kompensasi materi.
“Ini adalah ujian bagi akuntabilitas negara hukum, apakah aparat benar menjalankan kewajiban konstitusionalnya, atau justru lalai hingga rakyat menanggung akibatnya,” tutupnya.
Sebelumnya, seorang warga bernama Muhammad Sulhadrianto Agus (29) resmi menggugat Polda Sulsel ke Pengadilan Negeri Makassar pada Senin (8/9/2025) atas dugaan perbuatan melawan hukum.
Gugatan itu diajukan setelah kerusuhan pada Jumat (29/8/2025) yang berujung pembakaran gedung DPRD Sulsel dan DPRD Makassar serta menimbulkan korban jiwa.
“Hari ini kami dari kuasa hukum penggugat secara resmi mendaftarkan gugatan kami di PN Makassar terkait perbuatan melawan hukum, yaitu Polda Sulsel,” kata kuasa hukum penggugat, Muallim Bahar, Senin malam.
Ia menuding aparat kepolisian tidak hadir saat kerusuhan terjadi dan gagal melakukan pencegahan melalui informasi intelijen.
“Maka dalam gugatan kami, kami menguraikan kerugian materil terhadap kejadian ini sebesar Rp 800 miliar. Hitungan ini jelas, Rp 800 miliar jelas kami akan buktikan ke pengadilan,” tegas Muallim.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]