WahanaNews.co | Para tenaga kesehatan (nakes) dan guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di Garut, Jawa Barat, yang merupakan penerima jasa pelayanan dan sertifikasi, dipaksa membayar iuran dari tahun 2020 hingga 2022 oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Hal itu terjadi lantaran keterlambatan sosialisasi pembayaran iuran BPJS.
Baca Juga:
Guru Honorer Non Sertifikat Bakal Dapat Insentif Rp500 Ribu
Salah seorang PNS nakes di Garut, Kris mengaku cukup kaget tiba-tiba mendapat surat pemberitahuan harus membayar iuran BPJS.
"Iuran yang dibayar itu dari tahun 2020 sampai 2022. Aturan ini berlaku untuk seluruh PNS nakes yang bekerja di BLUD Puskesmas, atau penerima jaspel (jasa pelayanan)," kata Kris, dilansir dari kompas.com, Jumat (23/9).
Kris mengungkapkan bahwa bukan hanya dia saja yang kaget, namun para PNS nakes lainnya juga dalam kondisi yang sama. Apalagi, dari informasi yang diterima, uang yang harus diserahkan dari Puskesmas untuk membayar iuran BPJS itu mencapai Rp 60 juta.
Baca Juga:
Hadapi Tantangan Era Digital, Kejagung Latih Jaksa dan Staf Protection Officer
"Ini Puskesmas kami yang kecil sudah Rp 60 juta. Mungkin kalau seperti Puskesmas Tarogong yang ada rawat inapnya, jumlahnya pasti akan lebih besar lagi," ungkapnya.
Dikatakan Kris, dalam surat tersebut penarikan iuran adalah tindak lanjut Perpres nomor 75 tahun 2019 dan Peraturan Presiden nomor 64 tahun 2020, juga aturan teknis pada Permendagri nomor 70 tahun 2020 dan surat edaran kemendagri nomor 900/471/SJ tahun 2020, khususnya mengenai iuran JKN dari tunjangan jasa pelayanan bagi PNS yang bekerja di satuan kerja BLUD.
"Ini aturan lama, tapi kenapa baru disosialisasikan tahun ini oleh BPJS Tasik, jadi kaya terjebak aja. Uang yang sudah diterimanya juga udah dipakai. Saya kan mikronya BPJS sudah dipotong semua dari gaji, tapi ini ada iuran baru dari jaspel," terang Kris.
Sementara itu, Dewi salah seorang PNS guru di Garut juga kaget atas adanya iuran yang harus dibayar dari uang sertifikasi.
"Baru tahu ada aturan itu. Tahunya setiap gajian, gaji kita sudah dipotong untuk iuran BPJS setiap bulan, eh sekarang harus iuran lagi," ucapnya.
Dengan adanya aturan yang baru diketahui itu, Dewi mengaku saat ini tengah bingung untuk membayar karena uang sertifikasi yang diterimanya langsung digunakan sesuai kebutuhan.
"Makin bingung kalau bayarnya harus ngageblok (sekaligus). Ya bisa-bisa dari gaji atau sertifikasi aja kalau turun," katanya.
Terkait hal tersebut, Sekretaris Daerah Kabupaten Garut, Nurdin Yana membenarkannya. Ia menjelaskan bahwa awalnya iuran BPJS hanya berasal dari perhitungan gaji saja, namun kini akumulasi sertifikasi yang diterima.
"Gaji itu kan ada dua, gaji dengan jabatannya dan ada yang sifatnya insentif. Insentif sekarang sesuai aturan yang baru masuk ke dalam hitungan pembayaran BPJS. Itu yang seolah belum dibayar," jelas Nurdin.
Nurdin menyebut bahwa ada keterlambatan dari BPJS untuk peraturan tahun 2020 itu Kabupaten Garut. "Sosialisasi di Garut itu baru dilakukan sekitar bulan Juni-Juli, itu pun kepada tenaga pendidik dan sempat dipertanyakan oleh mereka (para pendidik)," sebutnya.
Meski baru disosialisasikan, Nurdin mengatakan bahwa ketetapan normatif BPJS bahwa iuran tersebut harus ditagih. Namun untuk pola penagihan dan pembayarannya masih dalam pembahasan.
"Dari BPJS kukuh harus ditagih (iuran dari sertifikasi dan jasa pelayanan)," ucapnya.
Selama ini, diungkapkannya, penghitungan akumulasi iuran BPJS hanya berasal dari gaji dan tunjangan jabatan saja. Sedangkan insentif tidak masuk dalam hitungan iuran karena penerimaannya tidak disatukan.
"Pembayaran iuran BPJS bagi PNS memang sudah ditetapkan sesuai persentase besaran gaji. Sebelum ada aturan ini, insentif nakes dan sertifikasi tidak dihitung karena diberikannya tidak disatukan dengan gaji. Insentif nakes juga kan dihitung dari akumulasi pelayanan, baru dibayar, jadi fluktuatif angka setiap bulannya," ungkapnya. [qnt]