WAHANANEWS.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memaparkan laporan tahunan terkait pengaduan konsumen selama 2024.
Salah satu poin krusial yang disampaikan adalah keberdayaan konsumen di Indonesia yang masih berada dalam kondisi kritis akibat lemahnya perlindungan hukum dan minimnya keberpihakan regulator terhadap kepentingan masyarakat.
Baca Juga:
Banjir Keluhan, YLKI: Sektor Keuangan dan E-Commerce Paling Banyak Diadukan
Menurut Ketua Umum DPN Persatuan Pengacara Perlindungan Konsumen Indonesia (Perapki), KRT Tohom Purba, kompleksitas permasalahan perlindungan konsumen, ditambah dengan tantangan dalam merespons isu-isu yang muncul dengan cepat, menjadi faktor yang berkontribusi pada belum optimalnya perlindungan konsumen.
"Banyaknya pengaduan terkait jasa keuangan, e-commerce, dan sektor telekomunikasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, menunjukkan betapa rapuhnya posisi konsumen dalam menghadapi praktik bisnis yang tidak fair," katanya, Sabtu (25/1/2025).
Tohom juga menyoroti lemahnya implementasi regulasi yang ada. Menurutnya, meskipun Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999), penerapannya masih jauh dari harapan.
Baca Juga:
Kunjungi Pasar Rakyat di Medan, Mendag Busan: Harga Bapok Stabil, Cenderung Turun
“UU Perlindungan Konsumen seharusnya menjadi benteng bagi masyarakat dalam menghadapi ketidakadilan transaksi. Namun, dalam praktiknya, masih banyak celah hukum yang membuat hak konsumen sering terabaikan,” ujarnya.
Salah satu kelemahan yang disoroti adalah kurangnya aturan turunan yang dapat memperkuat eksekusi perlindungan konsumen, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran serius oleh pelaku usaha.
Penguatan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Di Indonesia, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui jalur litigasi maupun non-litigasi, termasuk melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Namun, efektivitas BPSK di sejumlah daerah masih belum mumpuni, mengingat keterbatasan kewenangan dan sumber daya yang mereka miliki.
“BPSK sering kali dihadapkan pada keterbatasan anggaran dan personel yang tidak memadai, sehingga proses penyelesaian sengketa lambat dan kurang optimal,” kata Tohom.
Ia menegaskan bahwa penguatan peran BPSK harus menjadi prioritas utama dalam reformasi perlindungan konsumen.
“Harus ada peningkatan kapasitas BPSK baik dari segi anggaran, kewenangan, maupun aksesibilitas bagi masyarakat. Pemerintah juga harus memperjelas mekanisme eksekusi putusan BPSK agar memiliki daya ikat yang lebih kuat,” tambahnya.
Urgensi Penguatan Regulasi dan Pengawasan
Selain menguatkan BPSK, Tohom yang juga Anggota Aliansi Konsumen ASEAN menegaskan bahwa pengawasan terhadap pelaku usaha harus diperketat.
“Di tengah dinamika sektor jasa keuangan dan pesatnya perkembangan e-commerce, tantangan pengawasan semakin kompleks. OJK, Bank Indonesia, dan Kemendag perlu terus memperkuat mekanisme deteksi dini terhadap pelanggaran yang terstruktur dan berdampak luas bagi konsumen. Penerapan sanksi yang proporsional, termasuk kemungkinan pencabutan izin usaha dalam kasus pelanggaran sistematis, krusial untuk menjaga kepercayaan publik,” bebernya.
Menurutnya, amandemen terhadap UU Perlindungan Konsumen harus segera diprioritaskan agar dapat mengakomodasi perkembangan digitalisasi ekonomi.
Ia juga menyoroti perlunya regulasi yang lebih tegas terhadap platform digital dan influencer yang mempromosikan produk tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen.
Sinergi Semua Pihak
Tohom menekankan bahwa upaya meningkatkan keberdayaan konsumen tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Pelaku usaha juga harus lebih bertanggung jawab dan proaktif dalam menyelesaikan pengaduan.
Sementara itu, konsumen perlu didorong untuk lebih kritis dan memahami hak-haknya.
“Kesadaran konsumen harus terus ditingkatkan melalui edukasi yang masif. Pemerintah, akademisi, dan organisasi perlindungan konsumen harus bekerja sama dalam membangun ekosistem perlindungan konsumen yang lebih kuat,” pungkasnya.
Dengan adanya reformasi regulasi yang lebih tegas dan implementasi hukum yang lebih efektif, diharapkan keberdayaan konsumen di Indonesia dapat meningkat, sehingga menciptakan pasar yang lebih adil dan transparan bagi semua pihak.
[Redaktur: Sandy]