"Otomatis biaya pengiriman itu pasti akan semakin meningkat. Itu juga akan menjadi biaya bagi perdagangan secara keseluruhan," jelas dia.
"Jadi harga minyak tadi akan naik, terus habis itu kita melihat bahwa pasokan minyak itu misalnya dari Arab Saudi sulit untuk keluar, itu jadi double kenaikannya, ditambah untuk ngimpornya sendiri juga mahal, karena tadi ada disrupsi perdagangan," imbuhnya.
Baca Juga:
BPKN Desak Pengawasan Ketat dan Tindakan Tegas terhadap SPBU Nakal
Ia pun melihat konflik geopolitik juga berdampak pada fiskal. Menurutnya, risiko fiskal inilah yang membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani mengadakan pertemuan mendadak untuk membahas masalah ini.
"Dan saya melihat bahwa persinya dari subsidi BBM yang pertama, yang kedua adalah dana kompensasi subsidi energi ya, termasuk BBM dan juga LPG, tarif dasar listrik itu lewat dana kompensasi," jelas Andry.
Ia juga memprediksi penyaluran bantuan sosial (bansos) bakal meningkat jika perang terjadi. Kalau tidak, katanya, daya beli masyarakat tentu akan menurun imbas harga yang serba naik. Sementara inflasi kini juga cukup tinggi. Hal ini, menurutnya, akan diantisipasi melalui bansos.
Baca Juga:
Kendalikan Inflasi, Kemendagri Minta Pemda Segera Beri Insentif Fiskal PBBKB
Sektor industri juga bakal terpukul jika perang pecah. Andry menjelaskan jika harga BBM naik, inflasi ikut meningkat yang akan menggerus daya beli. Dalam hal ini, industri juga akan kehilangan pasar, membuat mereka kesulitan untuk menjual. Tentu ini juga dapat membuat harga impor bahan baku dan juga barang modal semakin mahal.
"Jadi industri akan ke-hit dari sisi suplai dan juga dari sisi demand. Kurang lebih seperti itu," pungkasnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]