El-Sayed merasa hal itu tidak adil baginya.
Namun, dia kerap merenungkan pelajaran hidup yang dialaminya tersebut.
Baca Juga:
Ivan The Terrible, Pemimpin Paranoid Pemicu Sederet Petaka
Dia mengingat kata-kata sang koordinator ketika mengatakan, "Anda akan menjadi Abdul El-Sayed selama sisa hidup Anda. Anda bisa menggunakannya sebagai alasan atau Anda bisa menggunakannya sebagai motivasi."
Dua puluh tahun kemudian, pasca 9/11, El-Sayed mengatakan bahwa mereka, sebagai sebuah negara, masih berjuang untuk mendefinisikan “motivasi apa, tepatnya”, seperti yang diutarakan koordinatornya dahulu.
Dalam pandangan El-Sayed, para teroris yang menyerang Amerika Serikat pada 9/11 hanya mengeksploitasi Islam sebagai dalih untuk tindakan kekerasan yang berakar pada dendam kesukuan dan hanya menginginkan kekacauan.
Baca Juga:
Operasi Seroja Timtim: Komandan Pasukan Gugur di Pelukan Prabowo
Menurutnya, serangan-serangan tersebut mengirim Amerika Serikat ke dalam gejolak kemarahan yang menggeliat.
Hal itu terbukti dari adanya perang di Afghanistan dan Irak, penipisan kebebasan sipil di Amerika Serikat, atau polarisasi masyarakat Amerika yang konsekuensinya masih dirasakan komunitas Muslim saat ini.
Dia mengatakan, logika era pasca 9/11 telah mengorbankan kebebasan kolektif dasar mereka, terutama terhadap Muslim Amerika.