Orang-orang Arab, Asia Selatan, dan Afrika mendapat sorotan tajam dan hidup dalam bayang-bayang ancaman keamanan.
"Kita berjuang 20 tahun dari perang kolektif di mana kita melanggar hak-hak dasar jutaan non-pejuang untuk membuat rumah, hidup makmur, dan berkembang di tempat di mana mereka dilahirkan. Ratusan ribu kehilangan nyawa mereka. Ribuan anggota layanan dan kontraktor Amerika Serikat juga meninggal, kebanyakan dari mereka kembali ke rumah. Di antara para veteran perang ini, kematian karena bunuh diri empat kali lebih umum daripada kematian di medan perang," kata El-Sayed.
Baca Juga:
Ivan The Terrible, Pemimpin Paranoid Pemicu Sederet Petaka
El-Sayed menyoroti sejarah terburuk Amerika, termasuk penipisan penduduk asli Amerika, perdagangan budak transatlantik, segregasi Jim Crow, penguburan Jepang, yang dilakukan atas nama Amerika.
Pada peristiwa 9/11, jutaan Muslim Amerika terpanggil untuk membelanya.
Menurutnya, saat itu para pemimpin mereka memberitahu Muslim akan tindakan terbaik, yakni menundukkan kepala, menyesuaikan diri dengan mengubah nama, memperbaiki aksen mereka, dan menyembunyikan warisan mereka.
Baca Juga:
Operasi Seroja Timtim: Komandan Pasukan Gugur di Pelukan Prabowo
Menurut El-Sayed, tugas patriotik itu adalah dengan menyetujui implikasi bahwa mereka bersalah sampai terbukti tidak bersalah dan mengambil hukuman kolektif itu dengan senyuman.
El-Sayed menyaksikan kebangkitan dari supremasi kulit putih dan ujaran kebencian yang muncul di platform media sosial.
Dia juga melihatnya dalam kebangkitan politik Donald Trump, yang erat dengan ketegangan nativisme, supremasi kulit putih dan otoritarianisme perang melawan teror.