Rafale telah digunakan dalam berbagai operasi militer, termasuk di Libya, Mali, dan Chad.
Namun belum pernah sebelumnya reputasinya diuji dalam pertempuran sesengit konflik India-Pakistan.
Baca Juga:
Kemhan Tahan Keputusan Pembelian 12 Jet Rafale Tambahan, Ini Alasannya
Fauzan Malufti, analis pertahanan yang kini menempuh studi keamanan global di Johns Hopkins University, mengingatkan agar Indonesia tidak gegabah menilai performa Rafale hanya dari satu konflik.
“Kita tidak bisa menarik kesimpulan terlalu dini. Dalam perang modern, bukan hanya pesawat versus pesawat, tapi ekosistem militer melawan ekosistem militer,” kata Fauzan kepada BBC News Indonesia. Ia mengibaratkan perang sebagai pertandingan sepak bola dengan banyak komponen yang saling menopang: pelatih, strategi, logistik, hingga teknologi pendukung.
Fauzan juga menyinggung bahwa pesawat tempur tercanggih pun pernah tumbang. “F-16, F-15, F-18—semuanya pernah jatuh. Bahkan oleh musuh yang tak setara,” ujarnya.
Baca Juga:
Ketangguhan Rafale Dipatahkan, India Dinilai Abaikan Kekuatan Aliansi Pakistan-China
Pembelian Alutsista: Strategi atau Simbol?
Indonesia bukan hanya membeli Rafale. Prabowo, sejak menjabat Menhan pada 2019, telah menandatangani nota kesepahaman untuk membeli F-15EX dari AS, serta sempat merencanakan pembelian 12 Mirage 2000-5 bekas dari Qatar yang akhirnya dibatalkan karena keterbatasan fiskal.
Langkah ini mencerminkan strategi yang tak hanya soal spesifikasi teknis, tetapi juga geopolitik.