Kepada BBC, Khosty mengungkapkan bahwa timnya memiliki grup-grup tersendiri yang terfokus pada Twitter - yang mengupayakan tagar Taliban jadi tren - dan penyebarluasan pesan lewat WhatsApp dan Facebook.
"Musuh-musuh kami punya televisi, radio, dan akun-akun terverifikasi di media sosial, sedangkan kami tidak punya. Namun kami tetap berjuang lewat Twitter dan Facebook dan bisa mengalahkan mereka," kata Khosty.
Baca Juga:
Trump Gegerkan Dunia dengan Ambisi Rebut Pangkalan Bagram Afghanistan
Tugasnya adalah, lanjut dia, membawa mereka yang sudah bergabung ke Taliban karena ideologinya "ke platform media sosial sehingga mereka bisa memperkuat pesan kami".
Taliban Lebih Fokus di Twitter
Ada sekitar 8,6 juta pengguna internet di Afghanistan dan tiadanya jaringan dan layanan data yang terjangkau masih menjadi kendala utama.
Baca Juga:
Menyelisik Pola Pikir Pemimpin Taliban Usai 2 Tahun Kuasai Afghanistan
Khosty mengatakan tim medsos IEA memberi insentif 1.000 Afghani (sekitar Rp164.000) per bulan untuk paket data kepada para anggota tim untuk "berjuang di medan perang online".
Dia mengeklaim bahwa IEA "punya empat studio lengkap dengan perangkat multimedia yang digunakan untuk meningkatkan pencitraan lewat audio, video, dan digital".
Hasilnya adalah video-video propaganda berkualitas tinggi yang menyanjung para petempur Taliban berikut peperangan mereka atas pasukan asing dan pemerintah, yang tersebar luas di akun YouTube mereka dan laman Al-Emarah.