"Kita hidup di garis depan kehidupan," katanya.
Kisah Chan Ho
Baca Juga:
Militer Korea Selatan Siarkan K-Pop dan Berita untuk Serangan Psikologis
Di kota lain di perbatasan, Chan Ho yang berprofesi sebagai pekerja konstruksi, mengalami pagi yang membuat frustrasi.
Dia bangun pagi untuk membantu istrinya menyiapkan dagangan di pasar, kemudian menuju ke lokasi konstruksi. Dia membawa barang dagangan dan menatanya di kios dengan penuh kesadaran bahwa bisnisnya adalah satu-satunya alasan dia masih hidup.
Uang 4.000 won yang dia hasilkan sehari - setara dengan Rp 60.000 - tidak lagi cukup untuk membeli satu kilogram beras. Dia sudah lupa kapan keluarganya terakhir kali menerima jatah makanan pemerintah, karena saking lamanya.
Baca Juga:
Waspadai Pencurian Tinja, Pemimpin Korut Bawa Toilet Kemanapun Pergi
Pasar, tempat kebanyakan orang Korea Utara membeli makanan mereka, sekarang hampir kosong. Harga beras, jagung, dan bumbu melambung tinggi. Karena Korea Utara tidak menghasilkan makanan yang cukup untuk memberi makan rakyatnya. Korut bergantung pada impor.
Namun, ketika menyegel perbatasan, pemerintah justru menghentikan pasokan makanan yang vital, bersama pupuk dan mesin yang dibutuhkan untuk bercocok tanam.
Awalnya Chan Ho takut dia akan meninggal karena Covid. Tetapi seiring berjalannya waktu, dia mulai khawatir mati kelaparan, terutama ketika dia melihat orang-orang di sekitarnya meninggal. Keluarga pertama di desanya yang tewas kelaparan adalah seorang ibu dan anak-anaknya.