"Kelaparan akut meningkat tidak hanya dalam skala tetapi
juga tingkat keparahannya," papar FAO dan WFP dalam laporan pada Jumat.
"Secara keseluruhan,
lebih dari 41 juta orang di seluruh dunia sekarang berisiko jatuh ke dalam
kelaparan atau kondisi seperti kelaparan, kecuali jika mereka menerima bantuan
penyelamatan hidup dan mata pencaharian segera," ungkap laporan itu.
Baca Juga:
Soal Kelaparan-Stunting, Prabowo: Butuh Aksi Nyta Tak Usah Lagi FGD
Dua lembaga yang berbasis di Roma menyerukan tindakan
kemanusiaan mendesak untuk menyelamatkan nyawa di 23 titik panas, dengan
mengatakan bantuan sangat penting di lima tempat siaga tertinggi untuk mencegah
kelaparan dan kematian.
"Tren yang memburuk ini sebagian besar didorong dinamika
konflik, serta dampak pandemi COVID-19," papar mereka.
"Ini termasuk lonjakan harga pangan, pembatasan pergerakan
yang membatasi aktivitas pasar dan penggembala, kenaikan inflasi, penurunan
daya beli, dan musim paceklik yang lebih awal dan berkepanjangan untuk tanaman
pangan," ungkap laporan itu.
Baca Juga:
Prabowo Tegaskan Tak Boleh Ada Orang Lapar di RI
FAO dan WFP mengatakan Sudan Selatan, Yaman dan Nigeria
tetap pada tingkat siaga tertinggi, bergabung untuk pertama kalinya dengan
Ethiopia karena Tigray dan Madagaskar selatan.
"Di Sudan Selatan, kelaparan kemungkinan besar terjadi di
beberapa bagian wilayah Pibor antara Oktober dan November 2020, dan
diperkirakan akan berlanjut tanpa adanya bantuan kemanusiaan yang berkelanjutan
dan tepat waktu, sementara dua daerah lainnya tetap berisiko kelaparan," ungkap
laporan itu.
"Di Yaman, risiko lebih banyak orang yang menghadapi kondisi
seperti kelaparan mungkin dapat diatasi, tetapi tetap sangat rapuh. Di Nigeria,
populasi di daerah yang terkena dampak konflik di timur laut mungkin berisiko
mencapai tingkat kerawanan pangan bencana," papar laporan itu.