Thailand dan Vietnam sekarang juga mengatakan mereka
mengalami banjir dan kekeringan yang tidak biasa karena pembendungan di bagian
hulu Sungai Mekong.
Pianporn Deetes, direktur kampanye LSM global, International
Rivers wilayah Thailand dan Myanmar berpendapat bahwa meningkatnya minat
Amerika dan China di Mekong telah membuat sengketa di sana "lebih
dipolitisasi dan terpolarisasi." Kekhawatiran masyarakat pinggiran sungai
tambahnya, "dibayangi atau dikesampingkan oleh agenda politik."
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Para kritikus mengatakan bahwa China bisa dengan mudah
mengancam untuk secara sengaja menahan sebagian besar air sungai di hulu, yang
bisa mengakibatkan bencana kekeringan ekstrem di Thailand dan Vietnam, sebagai
cara untuk menekan Bangkok dan Hanoi agar menerima tujuan geopolitik Beijing.
Pada akhir Juli, peretas China diduga mencuri data di Sungai Mekong dari server
Kementerian Luar Negeri Kamboja.
Di sisi lain, peningkatan pendanaan dari inisiatif yang
dipimpin AS dan China kepada pemerintah dan lembaga di kawasan itu telah
"berkontribusi pada perhatian publik yang lebih besar dan perdebatan
tentang isu-isu penting bagi masa depan Sungai Mekong dan rakyatnya," kata
Deetes kepada DW.
Baca Juga:
Inovasi Crowdsourcing Maritim di Tengah Konflik Natuna
Bisakah AS dan China
bekerja sama?
Pada tanggal 2 Agustus, Menteri Luar Negeri AS Blinken
menjadi tuan rumah bersama pertemuan menteri kedua Kemitraan Mekong-AS, yang
dibuat pada tahun 2020 untuk memperluas kerja forum sebelumnya, Inisiatif
Mekong bagian hilir. Forum Kerjasama Lancang-Mekong yang dipimpin Beijing
dibentuk pada tahun 2016.
"Penekanan AS pada transparansi dan inklusivitas
sebagai bagian dari Kemitraan Mekong-AS memungkinkan hasil yang produktif di
kawasan Mekong dan mengurangi kesenjangan akuntabilitas China di regionalnya
sendiri," kata Brian Eyler, direktur program Asia Tenggara Stimson Center.