Menurut data World Bank, tingkat kesuburan di Uganda memang terbilang tinggi. Setiap ibu rata-rata bisa melahirkan 5-6 anak. Data ini melebihi dua kali lipat rata-rata tingkat kesuburan di dunia, yakni 2-4 anak.
Hanya saja, Nabatanzi menyadari bahwa dirinya tidak seperti wanita lain di negara asalnya tersebut.
Baca Juga:
Tarif PSK Rusia & Uganda di Bali Rp6 Juta per Jam, Dibongkar Imigrasi
Ketika terus melahirkan anak kembar, Nabatanzi memeriksakan diri ke klinik kesehatan. Dokter kemudian memberi tahu bahwa Nabatanzi memiliki ovarium yang besar dan tidak normal. Kondisi ini membuat dirinya mengalami hiperovulasi.
Alat kontrasepsi bahkan disebut tak akan bisa mengatasi hiperovulasi. Bahkan, bukan tak mungkin kondisi ini bisa memicu masalah kesehatan lain yang lebih parah.
Hiperovulasi memang bisa diobati, tetapi pengobatan dan perawatan masih sulit didapat di wilayah pedesaan Uganda.
Baca Juga:
Gunungan Sampah TPA di Uganda Longsor, 23 Orang Tewas
Melansir CNN Indonesia, dokter spesialis obstetri dan ginekologi di Uganda, Charles Kiggundu mengatakan bahwa penyebab paling mungkin dari kondisi hiperovulasi yang dialami Nabatanzi adalah faktor genetik.
"Kasusnya adalah predisposisi genetik untuk hiperovulasi, melepaskan banyak sel telur dalam satu siklus, yang secara signifikan meningkatkan kemungkinan memiliki banyak kelahiran," kata Kiggundu.
Menurut Mayo Clinic, sindrom hiperstimulasi ovarium sebenarnya jarang terjadi. Namun, kondisi ini bisa memicu komplikasi yang berakibat fatal.