Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) disebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Pernyataan tersebut diamini oleh Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, K.H. Cholil Nafis.
Baca Juga:
Kapolres Rohil Siap Ciptakan Pilkada Damai dan Bangun Sinergitas Bersama MUI
"Perempuan Islam tidak sah dan haram menikah dengan laki-laki musyrik. Dan laki-laki Islam tidak sah dan haram menikah dengan perempuan musyrik. Hukum ini merupakan mutafaq alaih. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hukum ini. Karena itu, tidak bisa atas nama kemanusiaan, lalu membiarkan anak cucu kita masuk dalam murka Allah," tegas Kiyai Cholil.
Ada perbedaan pendapat tentang hukum laki-laki Islam menikahi perempuan ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Misalnya, Imam Syafi'i membolehkan muslim menikahi wanita yang masih menyembah Allah yang memiliki syariat yang berbeda.
"Untuk mengatasi perbedaan pendapat ini, para ulama bersepakat bahwa hukumnya adalah haram bagi muslim laki-laki menikah dengan perempuan Yahudi maupun Nasrani yang memiliki kitab suci mereka sendiri," imbuh Kiyai Cholil.
Baca Juga:
Palu Berzikir: Pemkot Palu Peringati 6 Tahun Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi
Selanjutnya, Konsultan Legal PP Salimah, Evi Risna Yanti, menyampaikan beberapa peraturan perundang-undangan terkait hukum pernikahan beda agama. Di antaranya, pasal 13 ayat 1 UUP yang mengatur bahwa perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
"Berdasarkan pasal 16 ayat 1 UUP, pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan/syarat Undang-Undang ini tidak dipenuhi," ujarnya.
Namun, ada perlindungan hukum untuk anak dari pernikahan yang tidak sah.