Seluruh uraian tersebut dapat dijadikan referensi penting dalam melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap kebijakan dan pelaksanaan proyek RDF Rorotan, sekaligus terhadap keputusan penghentian proyek ITF Sunter.
Dari berbagai persoalan tersebut, muncul sejumlah pertanyaan kritis yang perlu dijawab secara terbuka. Mengapa mantan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Heru Budi Hartono, berani menghentikan atau menunda proyek Strategis Nasional (PSN) PLTSa atau ITF Sunter? Mengapa Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, justru begitu bersemangat mendukung pembangunan RDF Plant Rorotan, padahal proyek ini tidak memiliki dasar hukum dan posisi strategis yang setara dengan PSN PLTSa Sunter?
Baca Juga:
PLTSa Jadi PSN di Era Presiden Prabowo: BPK Perlu Audit Investigatif RDF Rorotan, KPK Harus Bersikap
Pertanyaan kritis lainnya ialah apakah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta telah menyusun kajian lingkungan yang memadai, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sebelum memutuskan untuk membangun proyek tersebut. Selain itu, bagaimana proses tender proyek RDF Rorotan senilai Rp1,2 triliun dilaksanakan, dan apakah seluruh tahapan pengadaan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Pertanyaan lain yang tak kalah penting ialah mengapa proyek RDF Plant Rorotan gagal diselesaikan sesuai kontrak hingga 31 Desember 2024, padahal seluruh pembiayaannya telah dialokasikan penuh dari APBD Tahun Anggaran 2024?
Lalu muncul pertanyaan berikutnya, mengapa proyek yang sudah dibayar lunas justru kembali mengajukan tambahan anggaran melalui pos Belanja Tak Terduga (BTT) Tahun Anggaran 2025 untuk pengadaan sistem Wet Electrostatic Precipitator (Wet ESP) beserta perangkat pendukungnya. Kondisi ini jelas janggal, karena proyek yang telah dibayar penuh seharusnya tidak lagi membutuhkan tambahan anggaran.
Baca Juga:
Potensi Gagalnya RDF Rorotan Senilai Rp1,2 Triliun: Heru Budi dan Asep Kuswanto Bertangungjawab
Selain itu, mengapa pula terjadi perpanjangan masa pekerjaan hingga lima kali, dengan batas akhir pelaksanaan pada 31 Desember 2025?
Lebih jauh lagi, apakah benar dugaan bahwa selama masa perpanjangan kontrak belum terdapat jaminan pelaksanaan senilai Rp64,2 miliar? Jika benar, hal ini sangat berisiko karena berarti pekerjaan tersebut tidak dijamin dari sisi waktu, biaya, maupun mutu sebagaimana diatur dalam kontrak. Ketiadaan jaminan pelaksanaan juga berpotensi menimbulkan kerugian daerah apabila terjadi keterlambatan atau ketidaksesuaian hasil pekerjaan.
Permasalahan tersebut jelas berpotensi melanggar ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021, serta Surat Edaran Sekretaris Daerah DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2024 tentang Pembayaran Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan pada Akhir Tahun Anggaran.