Lebih jauh lagi, penghentian atau penundaan proyek PSN PLTSa/ITF Sunter dan penggantiannya dengan proyek RDF Rorotan berpotensi tidak sejalan dengan kebijakan nasional. Selain itu, langkah tersebut juga berpotensi melanggar berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk mengandung dugaan perbuatan melawan hukum (PMH), serta mungkin dapat bertentangan dengan prinsip dan upaya pencegahan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dalam konteks tersebut, publik wajar mempertanyakan apakah RDF Plant Rorotan benar-benar mampu memenuhi klaim teknisnya, yaitu mengolah 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan 874 ton bahan bakar RDF setiap hari. Masyarakat kini menantikan pembuktiannya: apakah fasilitas tersebut benar-benar dapat beroperasi secara resmi pada November 2025 sebagaimana dijanjikan oleh Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto.
Baca Juga:
PLTSa Jadi PSN di Era Presiden Prabowo: BPK Perlu Audit Investigatif RDF Rorotan, KPK Harus Bersikap
Melihat kompleksitas persoalan yang ada, sudah sepatutnya duet Pramono–Rano mengambil langkah tegas dan strategis. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo sebaiknya segera melakukan rotasi atau penggantian terhadap Kepala DLH Asep Kuswanto. Langkah ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik, memberikan semangat baru bagi aparatur sipil negara di lingkungan Pemprov DKI, serta memperkuat kinerja birokrasi demi kemajuan Jakarta dan kesejahteraan masyarakatnya.
Selain itu, duet Pramono–Rano perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja DLH DKI Jakarta, meliputi status perizinan dan kepatuhan lingkungan RDF Rorotan, kendala teknis yang menyebabkan keterlambatan operasi, partisipasi masyarakat dan penyelesaian dampak lingkungan, transparansi penggunaan anggaran, serta efektivitas proyek dalam mengurangi beban sampah Jakarta.
Evaluasi tersebut harus dilakukan secara terbuka dan berbasis data agar publik dapat menilai bahwa proyek tersebut benar-benar membawa manfaat nyata, bukan sekadar menjadi simbol keberhasilan administratif. Jika hambatan yang ditemukan bersifat teknis dan masih dapat diperbaiki, DLH harus segera menyusun rencana aksi percepatan yang konkret. Namun, jika hambatan yang dihadapi bersifat struktural atau regulatif, maka kelanjutan proyek ini harus dikaji ulang secara terbuka dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait.
Baca Juga:
Potensi Gagalnya RDF Rorotan Senilai Rp1,2 Triliun: Heru Budi dan Asep Kuswanto Bertangungjawab
Dengan demikian, proyek RDF Plant Rorotan yang dijanjikan sebagai bagian dari program 100 hari kerja Gubernur DKI Jakarta hingga kini belum mampu direalisasikan sesuai target operasional penuh.
Pendalaman terhadap proyek RDF Rorotan menjadi semakin relevan jika dikaitkan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan proyek PLTSa—termasuk ITF Sunter Jakarta—sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), bukan proyek seperti RDF Rorotan.
Semua kondisi tersebut menuntut adanya pengawasan dan evaluasi yang serius dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas pelaksanaannya benar-benar terjamin. Langkah ini juga penting untuk menegakkan hak warga atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta berbagai peraturan perundang-undangan terkait lainnya, termasuk pelaksanaan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar konstitusionalnya.