Hal ini bisa saja mengarahkan pada perubahan konstelasi peta keberagamaan secara global yang boleh jadi akan membalikkan pola relasi Islam di Indonesia dengan Islam di Timur Tengah yang jauh lebih berimbang dan berkeadilan.
Jika selama ini pola relasi tersebut lebih banyak ”merugikan” Islam Indonesia karena Islam di negeri ini ditempatkan dalam posisinya yang lebih inferior, ke depan eksportasi moderasi beragama bisa menjadi alat tawar (bargaining) bagi Islam Indonesia agar posisinya bisa lebih superior, diperhitungkan, dan disegani.
Baca Juga:
Akun X Pelesetkan Logo NU Jadi 'Ulama Nambang' Warga Surabaya Lapor Polisi
Di luar itu semua, fenomena konflik berkepanjangan dan kekerasan agama di sejumlah negara di Timur Tengah tampaknya membuat mereka mulai lelah dan realistis terhadap pola keberagamaan ”supremasis” yang telah lama mereka praktikkan selama ini.
Alih-alih menghasilkan model keberagamaan yang penuh keadaban dan kasih sayang, pola keberagamaan demikian justru melahirkan penderitaan dan kesengsaraan sosial-politik berkepanjangan (protracted socio-political unrest) di kalangan mereka sendiri.
Peningkatan angka inflasi, kemiskinan, dan pengangguran sering kali menyertai ketika sebuah negara dilanda konflik kekerasan yang berlarut-larut.
Baca Juga:
MUI Larang Salam Lintas Agama, Ini Tanggapan PBNU
Dalam konteks eksportasi model beragama yang moderat, kita perlu mempertimbangkan skema persemakmuran (commonwealth scheme) sebagai pola transformasi dan edukasi ke panggung dunia.
Sesuai dengan maknanya, skema semacam ini digunakan sebagai mekanisme pendistribusian kemakmuran ke belahan dunia lain dalam bentuk peradaban Islam yang damai, moderat, dan rahmatan lil alamin.
Mengadopsi model kolonialisasi Inggris ke bekas negara-negara ”jajahannya”, skema ini meniscayakan adanya mentalitas dan perasaan senasib sepenanggungan sesama negara bekas koloni untuk bergerak menuju sebuah titik tujuan yang sama: kemakmuran.