Kedua, ambivalensi dan inkonsistensi penegakan hukum dalam dua bentuk.
Pertama, dalam produk pelanggaran administrasi. Dalam pemilu produknya berbentuk putusan Bawaslu yang sifatnya mandatory, tetapi pada pemilihan produknya berbentuk rekomendasi Bawaslu Provinsi yang sifatnya fakultatif untuk dilaksanakan KPU.
Baca Juga:
Bawaslu Kulon Progo Gelar Penguatan Kapasitas Pengawas Pemilu Kecamatan untuk Pemilu 2024
Padahal, secara regulatif pelanggaran administrasi pemilu dan pemilihan sesungguhnya memiliki defenisi yang sama.
Ironisnya dalam hal pelanggaran administratif bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang defenisinya berbeda.
Dalam pemilu didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu yang terjadi secara TSM.
Baca Juga:
Perludem Ungkap Politisasi Bansos Pada Pilkada Tak Semasif Pemilu 2024
Sementara dalam pemilihan didefenisikan sebagai praktik politik uang TSM, bentuk produknya justru sama yakni putusan, yang bisa dilakukan upaya hukum akhir ke Mahkamah Agung.
Hal ini mengakibatkan belum adanya standar atau bobot keadilan yang sama bagi pencari keadilan dalam penanganan pelanggaran administrasi pada pemilu dan pemilihan.
Kedua, dalam putusan antarlembaga penegak hukum. Apa yang terjadi dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah Boven Digul 2020 (sengketa pertama) dan sengketa penetapan hasil Pemilu 2019 DPRD Provinsi Dapil Kalimantan Barat 6 (sengketa kedua) mendeskripsikan itu.