Pada sengketa pertama, misalnya, putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Bawaslu Boven Digul berbeda dalam memutus perkara tentang syarat calon mantan terpidana.
Sementara pada sengketa kedua, putusan MK berbeda dengan putusan Bawaslu tentang pelanggaran administrasi yang berimplikasi pada perubahan perolehan suara, dan justru terbit pasca putusan MK.
Baca Juga:
Bawaslu Kulon Progo Gelar Penguatan Kapasitas Pengawas Pemilu Kecamatan untuk Pemilu 2024
Selain memicu ketidakpastian hukum, kondisi ini menyebabkan terjadi inefisensi karena harus dilaksanakan pemungutan suara ulang (pada sengketa pertama).
Kondisi ini juga potensial ”mengorbankan” penyelenggara, sebagaimana terjadi pada pemberhentian tetap salah satu anggota KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) (pada sengketa kedua).
Kerangka hukum mestinya menegaskan pengaturan standar sama dalam penanganan pelanggaran admininistrasi pemilu dan pemilihan, menegaskan limitasi waktu penanganannya, dan mengkonsolidasikan kembali desain, tugas, dan kewenangan antar lembaga penegak hukum pemilu dan pemilihan.
Baca Juga:
Perludem Ungkap Politisasi Bansos Pada Pilkada Tak Semasif Pemilu 2024
Ketiga, inkonsistensi penegakan kode etik.
Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa DKPP bukan lembaga peradilan dan karena itu sifat final dan mengikat putusan DKPP tidak sama dengan sifat final dan mengikat putusan lembaga peradilan.
Putusan DKPP hanya final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu.