Atas nama AD/ART parpol klausul tersebut justru cenderung direduksi oleh (elite) parpol, sebagai proses kandidasi yang tertutup, oligarkis, dan sentralistik.
Dengan kandidasi elitis seperti itu, praktik memilih sejatinya masih terperangkap ”memilih kucing dalam karung” sebab pemilih belum memiliki pengenalan yang cukup terhadap para calon politisi.
Baca Juga:
Kerugian Negara Rp279 Triliun, ICW: Tahun 2024 Penindakan Korupsi Merosot Tajam
Kerangka hukum mestinya memperkuat norma hukum demokratisasi kandidasi parpol dengan pengaturan keterlibatan konstituen parpol/pemilih sejak dini dalam penjaringan dan penentuan bakal calon dan pasangan calon.
Dengan begitu, kandidasi di parpol menjadi lebih egaliter, transparan, dan akuntabel.
Para calon politisi dan pemilih punya ruang saling mengenal, menyerap, mempertukarkan aspirasi dan gagasan politik, dan pada akhirnya menjadi insentif munculnya para calon politisi yang mengakar ke bawah.
Baca Juga:
Kaesang Terpilih Jadi Ketum PSI, Akui Kegagalan dan Ajak Kader Bangkit
Mereka inilah yang kelak mampu mengartikulasikan aspirasi pemilih menjadi kebijakan yang menyejahterakan.
Ambivalensi Penegakan Hukum