Dengan kata lain, korban yang terkena sanksi punya hak untuk mencari keadilan terhadap keputusan presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu yang menindaklanjuti putusan DKPP.
Namun, Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 tersebut belum diakomodasi dalam kerangka hukum.
Baca Juga:
Bawaslu Kulon Progo Gelar Penguatan Kapasitas Pengawas Pemilu Kecamatan untuk Pemilu 2024
Akibatnya, korban sanksi putusan (pemberhentian tetap) DKPP seolah tidak memiliki hak dan ruang mencari keadilan.
Penyelenggara yang mencari keadilan bahkan dipandang melakukan pembangkangan hukum, sebagaimana yang dialami anggota KPU, Evi Novida Ginting.
Evi menggugat keputusan presiden dan putusan DKPP tentang pemberhentian tetapnya dan kemudian dikabulkan dan dipulihkan kembali lewat putusan Tata Usaha Negara dan keputusan presiden, tetapi tidak direhabilitasi oleh putusan DKPP.
Baca Juga:
Perludem Ungkap Politisasi Bansos Pada Pilkada Tak Semasif Pemilu 2024
Inkonsistensi kerangka hukum untuk melindungi hak penyelenggara mencari keadilan akibat putusan DKPP yang tidak prudent selain mencederai prinsip equal before the law, juga mengingkari prinsip demokrasi check and balance, yakni saling mengontrol dan menjaga keseimbangan antar LPP.
Penyempurnaan Kerangka Hukum