Konsep yang telah disepakati adalah traditional fishing right di wilayah perairan kepulauan, bukan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ataupun laut teritorial. Traditional fishing right pun harus diatur melalui perjanjian antarnegara.
Dengan demikian, tidak ada kapal ikan asing yang dapat menangkap ikan di ZEE suatu negara tanpa izin dari negara pantai tersebut.
Baca Juga:
Jelang Peringatan Hari Kembali Papua ke NKRI, Dandim Fakfak dan PPM Gelar Rapat Koordinasi
Kapal coast guard China yang wara wiri wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tepatnya di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, Senin (14/9/2020). [Dok.Bakamla].
Dengan menggunakan dalih traditional fishing ground, China secara implisit tidak mengakui ZEE Indonesia. Padahal Indonesia telah mengklaim ZEE sejak 1983 melalui UU No. 5 Tahun 1983, dan China tidak pernah mengajukan keberatan.
Artinya, China telah mengakui klaim Indonesia atas ZEE-nya. Namun, tiba-tiba China mengirimkan penjaga pantai untuk menjaga kapal ikannya jauh keluar dari laut teritorial dan ZEE China, yang diukur dari daratan utama China.
Baca Juga:
Rektor IPDN Pimpin Acara Yudisium 36 ASN Lulusan Terbaik Prodi Profesi Kepamongprajaan
Hal ini mengindikasikan bahwa China menganggap perairan Natuna sebagai wilayah yurisdiksinya, sesuai dengan klaim sepihak nine dash line, meskipun absurd dan tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Dalam perkembangan hukum, laut tidak dimiliki oleh siapa pun. Negara-negara hanya dapat mengklaim laut yang berbatasan dengan daratannya, seperti laut teritorial, zona tambahan, landas kontinen, dan ZEE, dengan alasan keamanan nasional.
Dengan demikian, jelas tak ada klaim atas laut tanpa adanya daratan. Sedangkan jarak antara China dan titik terluar nine dash line terlalu jauh, melebihi batas 200 mil laut dari pantai untuk ZEE yang diakui dalam hukum laut.