Jika hukum internasional mengakui historical title atas laut sebagaimana dilakukan China, maka konsekuensi logisnya, semua samudra di dunia dapat diklaim oleh Inggris karena mereka telah menguasai lautan sejak dulu.
Aksi China ini dikenal sebagai unilateral claim, yang tidak serta-merta bisa mengikat dan memaksa negara lain untuk mengakuinya, karena hukum internasional mengenal penolakan secara terus-menerus atau persistent objection.
Baca Juga:
Peringati Hari Bela Negara Ke-76 Lanud Sultan Hasanuddin Gelar Upacara
Sebaliknya, Indonesia tetap konsisten melakukan persistent objection sejak awal dan sikap ini tak pernah berubah. Terlebih, hak berdaulat Indonesia di perairan Natuna Utara sah sepenuhnya berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea).
Gagasan Crowdsourcing
Di tengah situasi ini, kita perlu berpikir kreatif dan inovatif untuk mencari solusi yang komprehensif dan inklusif.
Baca Juga:
Danlanal Palu Lepas Empat Kontingen Saka Bahari Ikuti PPKM Nasional 2024
Tidak hanya melakukan peaceful display of sovereignty dengan menghadirkan patroli berkesinambungan, pemantauan radar yang efektif dan berdaya jangkau tinggi, serta pembangunan pangkalan TNI AL di daerah terdekat.
Pemerintah perlu lebih menggalakkan kampanye nasional untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang arti penting kedaulatan maritim bagi keberlangsungan NKRI.
Salah satu pendekatan yang layak dipertimbangkan saat ini adalah membentuk platform crowdsourcing maritim yang melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, baik negara, organisasi non-pemerintah, akademisi, maupun masyarakat sipil.