Coba berhenti sesaat dan renungkan, berapa banyak pekerja anak yang kita temui hari ini, yang bekerja sebagai loper koran, pemulung, atau pengamen?
Pekerja anak ini terus ada karena orang-orang menerimanya dan mencari-cari alasan untuk menormalkannya.
Baca Juga:
Banyak Mendapat Penolakan, UU Tapera Digugat ke MK
Hak-hak anak tidak dihormati, perjanjian dan konvensi internasional tidak dipatuhi, serta sistem pendidikan masih mengecualikan anak-anak miskin dan rentan.
Selain itu, konsumen menuntut produk murah sehingga digunakanlah pekerjaan anak yang murah untuk memangkas ongkos produksi, rumah tangga mempekerjakan anak sebagai asisten rumah tangga karena biaya jasa yang lebih murah, serta tidak tersedianya pekerjaan yang layak untuk orang dewasa mengharuskan anak untuk bekerja.
Tetapi yang paling utama, pekerja anak masih ada karena kita belum cukup berusaha untuk menghentikannya.
Baca Juga:
Mimpi Indonesia Emas 2045 Terancam: 40 Juta Penduduk Terjebak Gaji Rendah
Pada dasarnya, anak bukannya dilarang bekerja sama sekali.
Berdasarkan data Sakernas pada Agustus 2020, diketahui 3,25 persen anak yang berusia 10-17 tahun merupakan pekerja anak (mencapai 1,4 juta anak), dengan proporsi anak perempuan berusia 10-17 tahun yang bekerja sebanyak 3,16 persen (lebih dari 600.000) dan proporsi anak laki-laki yang bekerja 3,34 persen (lebih dari 700.000).
Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan merupakan lima provinsi dengan jumlah pekerja terbanyak di Indonesia, yaitu dengan jumlah pekerja anak lebih dari 100.000 orang di setiap provinsi ini.