Persetujuan Korban
Ketiga, soal persetujuan korban, khususnya pada Ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal korban dalam situasi: (a) memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) mengalami situasi di mana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya; (c) mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba; (d) mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; (e) memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan; (f) mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau (g) mengalami kondisi terguncang.
Baca Juga:
Biadab! Dokter PPDS Perkosa Keluarga Pasien di RSHS Bandung
Bagian ini yang paling menimbulkan kegaduhan.
Padahal, maksud pasal itu adalah tindak kejahatan seksual ini harus tetap dianggap terjadi, dan persetujuan korban harus diabaikan, ketika ia berada dalam kerentanan.
Bukankah semua ini memang benar-benar terjadi?
Baca Juga:
Otto Hasibuan Secara Resmi Buka Acara Seminar Nasional TPKS
Kerentanan korban karena dia di bawah umur atau karena dieksploitasi pelaku yang lebih berkuasa atas dirinya, diancam, dan tak berdaya karena berbagai tipu daya pelaku, termasuk diberi obat agar mabuk, kehilangan kesadaran, sakit, tertidur, memiliki kondisi fisik dan psikologis rentan, kecacatan sementara, atau dalam kondisi terguncang.
Banyak laporan dicatat oleh organisasi pendamping korban, bantuan hukum, dan tersiar di media masa dan sosial tentang situasi korban saat tindakan terjadi.
Barangkali yang diinginkan adalah agar peraturan ini dilengkapi larangan terhadap tindakan seksual di luar institusi perkawinan.