WahanaNews.co, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti 40 persen atau 16 orang calon pimpinan KPK yang dinyatakan lolos seleksi tertulis berlatar belakang aparat penegak hukum (APH) baik aktif maupun purnatugas.
Peneliti ICW Diky Anandya mencurigai keberpihakan Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK kepada pendaftar dengan latar belakang penegak hukum.
Baca Juga:
ICW Pandang Kortastipidkor Harus Fokus Benahi Integritas Internal Polri
"Ini tentu menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat tentang independensi Pansel dalam bekerja. Potensi keberpihakan yang berlebih pada aparat penegak hukum disinyalir sedang terjadi pada proses seleksi kali ini," ujar Diky melalui keterangan tertulis, Kamis (8/8).
"Sederhananya, Pansel seperti meyakini sebuah 'mitos' yang sebenarnya keliru terkait adanya keharusan aparat penegak hukum mengisi struktur Komisioner KPK," sambung dia.
Diky merangkum beberapa poin penting merespons hasil tes tertulis Capim KPK. Pertama, kata dia, Pansel bisa dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yakni Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 jika indikasi memberikan karpet merah terbukti.
Baca Juga:
Ketua KPK Nawawi Anggap KPK Seperti Bayi yang Tak Diinginkan untuk Lahir
Adapun peraturan perundang-undangan itu telah memandatkan setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum.
Poin kedua mengenai keberadaan aparat penegak hukum pada level Komisioner KPK berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan akan mengganggu independensi lembaga.
"Analoginya sebagai berikut, Pasal 11 UU KPK mengamanatkan bahwa lembaga antirasuah tersebut diminta untuk memberantas korupsi di lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, bagaimana penegakan hukum KPK akan objektif jika komisionernya berasal dari lembaga penegak hukum?" ucap Diky.
Sedangkan menyangkut independensi, baik kandidat yang berasal dari Polri, Kejaksaan, atau Mahkamah Agung, Diky memandang setiap calon berpotensi memiliki loyalitas ganda. Sebab, saat kelak menjabat sebagai Komisioner KPK, secara administratif kedinasan mereka masih berada di bawah kekuasaan lembaga terdahulu.
Atas kondisi tersebut, Diky mengatakan masyarakat khawatir penanganan perkara di KPK tidak objektif.
"Lagipun, jika dipandang calon-calon dari kalangan penegak hukum memiliki kompetensi yang mumpuni, mengapa mereka tidak diberdayakan di lembaga asalnya?" kata Diky.
"Pada situasi ini, ketegasan Pansel untuk menjawab keraguan masyarakat akan diuji," sambungnya.
Apabila pada akhirnya Pansel tetap meloloskan sejumlah kandidat yang berasal dari kalangan penegak hukum, Diky mendorong agar mereka menanggalkan jabatan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam UU KPK.
Lebih lanjut, ICW juga menyoroti tentang tes lanjutan yang akan digelar akhir Agustus mendatang. Sebab, kata Diky, ada beberapa nama yang penting ditelusuri secara mendalam rekam jejaknya.
"Oleh sebab itu, kami berharap Pansel tidak hanya berdiam diri menunggu informasi yang masuk, akan tetapi bertindak aktif mencari dan menelusuri rekam jejak kandidat," ucap Diky.
"Misalnya, jika calon berasal dari internal KPK, maka Pansel harus segera berkoordinasi dengan Dewan Pengawas guna menanyakan catatan etik dari proses persidangan yang pernah berlangsung," lanjut dia.
Enam belas Capim KPK dimaksud yaitu Irjen Djoko Poerwanto (Kapolda Kalteng); Irjen Didik Agung Widjanarko (Deputi Korsup KPK); Komjen RZ Panca Putra (Sekretaris Utama Lemhanas); Komjen Setyo Budiyanto (Irjen Kementan); Irjen (purn) Sang Made Mahendra Jaya; Brigjen Rakhmad Setyadi (Stafsus Menpan RB); Komjen Agung Setya Imam Effendi (Sekretaris Utama BIN); dan mantan Kepala Bagian Pengawasan Penyidikan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten AKBP Dadang Herli Saputra.
Kemudian empat orang jaksa yaitu Andi Herman, Fitroh Rohcahyanto, Harli Siregar dan Sugeng Purnomo. Sementara dari hakim ada Albertus Usada, Ibnu Basuki Widodo, Minanoer Rachman dan Rios Rahmanto.
[Redaktur: Alpredo Gultom]