WahanaNews.co | Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) ternyata pernah dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait dugaan penipuan atau keterangan palsu.
Laporan itu bernomor LP/B/0373/VI/2021/Bareskrim pada tanggal 16 Juni 2021.
Baca Juga:
Eks Presiden ACT Mohon Dibebaskan dari Segala Tuntutan, Ini Alasannya
"Iya (ada laporan tersebut)," kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian saat dikonfirmasi, Selasa (5/7).
Andi menjelaskan, laporan itu masih berstatus penyelidikan. Jenderal bintang satu ini juga memastikan pemeriksaan terus berjalan dengan memanggil sejumlah pihak untuk diperiksa sebagai saksi.
"Sedang dalam penyelidikan untuk memfaktakan unsur pidana. Sudah ada beberapa pihak yang sudah diklarifikasi," ujar dia.
Baca Juga:
Ini Tujuan ACT Alirkan Dana Rp 10 Miliar ke Koperasi Syariah 212
Organisasi filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) tengah jadi perbincangan publik. Publik menyoroti besarnya gaji pejabat, biaya operasional hingga dugaan penyalahgunaan dana kemanusiaan.
Petinggi ACT dipimpin Presiden ACT Ibnu Khajar dan Dewan Pembina Syariah Ust Bobby Herwibowo bereaksi. Mereka meluruskan isu-isu miring yang beredar di masyarakat. Salah satunya terkait gaji dan operasional ACT yang mencapai Rp71 miliar.
Ibnu menjelaskan, gaji dan operasional ACT diambil 13,7 persen dari dana kemanusiaan pada rentang tahun 2017-2021. Bila dihitung dana 13,7% dengan nominal anggaran di 2020, maka ACT memakai dana operasional kurang lebih Rp71,10 miliar.
Anggaran tersebut, kata Ibnu, adalah hal yang wajar dan masih sesuai aturan secara syariat Islam.
Sementara dikutip dari laporan keuangan tahun 2020 ACT, donasi yang terkumpul mencapai Rp519,35 miliar. Dana tersebut didapat dari 348.000 donatur yang paling besar diperoleh dari publik mencapai 60,1%. Kemudian korporat 16,7% dan lain-lain untuk disalurkan dalam 1.267.925 transaksi.
"Dalam lembaga zakat, secara syariat dibolehkan 1/8 atau 12,5 persen ini patokan kami secara umum. Tidak ada secara khusus (aturan negara) untuk operasional lembaga," kata Ibnu dalam konferensi persnya, Selasa (5/7).
Meski melewati batas dari aturan syariat sebesar ⅛ atau 12,5%, Ibnu menjelaskan ACT bukanlah lembaga zakat melainkan filantropi umum di mana tidak hanya zakat yang dikelola lembaga tersebut. Namun banyak seperti sedekah umum, CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan dan lain-lain.
"Dari 2020 dana operasional Rp 519 miliar. Kami menunaikan aksi program ke masyarakat 281 ribu aksi, penerima manfaatnya 8,5 juta jiwa. Jumlah relawan terlibat, sebanyak 113 ribu," ujar dia.
Pasalnya, Ibnu mengklaim pihaknya sampai saat ini juga terus menyalurkan berbagai bantuan, di mana ketika pandemi Covid-19 kebutuhan bantuan masyarakat kian banyak dan acap kali membutuhkan dana operasional lebih.
"Tentang alokasi yang dianggap berlebih, sejak awal pandemi Covid-19 lembaga memutuskan tidak ada libur, berkaitan dengan lembaga kemanusiaan dengan memberi bantuan pangan medis, Sabtu Minggu tidak libur," tuturnya.
Sehingga, aturan syariat itu hanya sebagai acuan karena Ibnu jika lembaga yang berdiri di 47 negara itu terkadang memerlukan dana distribusi bantuan lebih banyak sehingga kerap memakai sumber dana non zakat, infaq atau donasi umum.
"Kalau ACT potong itu 13,7 %, potongannya itu. Wakaf tidak dipotong, syariatnya tidak dipotong, zakat 12,5%, yang lain diambil dari infaq umum, CSR, dana hibah itu yang diambil (untuk dana 13,7%)," tuturnya.
Atas dasar lembaga yang mengelola filantropi umum di bawah naungan Kementerian Sosial (Kemensos), Ibnu berujar ACT bisa saja memotong dana sumbangan sebesar 30 persen untuk biaya operasional.
Walau belum pernah dilakukan, akan tetapi batasan pemotongan itu bisa dilakukan. Lantaran ada dasar sesuai dengan saran dari Dewan Syariah sebagai pengawas.
Ibnu juga blak-blakan soal pendapatan yang kini dia terima. Dia mengklaim jika pendapatannya sebulan saat ini tidak lebih dari Rp 100 juta.
"Di pimpinan presidium, yang diterima tidak lebih dari Rp 100 juta. Untuk Presiden yang mengelola 1.200 karyawan," ucapnya.
Angka tersebut, kata Ibnu, menjadi hal yang wajar untuk seorang presiden yang mengelola ribuan karyawan. Sedangkan untuk data terkait Rp 250 juta dia juga telah membenarkan. Namun nominal hanya berjalan saat Januari 2021, dan tidak berlaku secara konstan atau tetap.
"Jadi kalau pertanyaannya apa sempat diberlakukan kami sempat memberlakukan di Januari 2021 tapi tidak berlaku permanen," ujar Ibnu
Meski tidak berlaku secara permanen, soal pemberian gaji sebesar Rp250 juta untuk posisi presiden. Pada saat kisaran medio Desember 2021, ACT pun memutuskan mengurangi gaji akibat kondisi keuangan yang tidak stabil.
"Sampai teman-teman mendengar di bulan desember 2021, sempat ada kondisi filantropi menurun signifikan sehingga kami meminta kepada karyawan mengurangi gajinya mereka," katanya.
Ibnu juga menanggapi terkait penerimaan mobil mewah dinas seperti Alphard hingga Pajero usai menduduki jabatan tinggi dalam organisasi. Fasilitas itu dibeli sebagai inventaris lembaga.
"Kendaraan mewah dibeli tidak untuk permanen, hanya untuk tugas ketika dibutuhkan, untuk menunaikan program. Jadi semacam inventaris, bukan menetap di satu orang," ujar Ibnu.
Dia mengklaim bahwa kendaraan mewah itu dibeli untuk sejumlah kegiatan semisal, memuliakan para tamu hingga masuk ke daerah-daerah tertentu saat melaksanakan program.
"Sebelumnya diberitakan, tentang mobil Alphard. Ini dibeli lembaga untuk memuliakan tamu kami seperti ustad, tamu yang datang dari bandara, digunakan untuk jemput mereka," ujar dia.
"Kendaraan ini lebih maksimal untuk membantu masyarakat. Termasuk untuk masuk ke daerah-daerah, untuk operasional tugas kami di lapangan," tambahnya.
Kendati demikian dia menyampaikan bahwa deretan kendaraan mewah itu saat ini telah dijual untuk digunakan untuk melanjutkan program yang tertunda. Penjualan itu karena barang tersebut merupakan inventaris.
Organisasi filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) dikabarkan terlibat dalam dugaan penyelewengan dana donasi yang melibat sejumlah petinggi. Hal itu terlihat dari gaji bulanan mantan pimpinan ACT yang mencapai Rp250 juta. Belum lagi, berbagai aset yang dibeli menggunakan uang ACT seperti mobil, rumah sampai lampu gantung.
Sedangkan pejabat di bawahnya, seperti senior vice president, beroleh upah sekitar Rp 150 juta. Adapun vice president mendapat Rp 80 juta per bulan. Di bawahnya, level direktur digaji sekitar Rp 50 juta dan direktur mendapat Rp 30 juta. [rin]