WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sidang perbaikan gugatan di Mahkamah Konstitusi kembali memanas ketika pengacara Firdaus Oiwobo menyinggung soal kultus orang suci dalam penjelasannya pada Rabu (19/11/2025).
Firdaus menyatakan dirinya tidak pernah menganggap diri sebagai sosok yang selalu benar sehingga ia merasa wajar ketika melakukan kekeliruan administratif.
Baca Juga:
Gugatan Baru di MK: Calon DPR Wajib Sarjana Menggema Lagi
Pernyataan tersebut disampaikan setelah majelis hakim memberikan koreksi terhadap gugatannya terkait UU Advokat yang diajukan karena ia merasa dirugikan oleh pembekuan sumpah advokatnya usai insiden naik meja di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Ketua MK Suhartoyo sempat menanyakan “Ada yang mau disampaikan?” kepada Firdaus sebelum ia menjelaskan alasannya.
“Terima kasih banyak Yang Mulia, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, sebenarnya di dalam benak saya saya juga tidak mengkultuskan diri saya sebagai orang yang suci karena kita terlahir dengan kondisi yang serba kurang ya di dalam dunia ini jadi saya mengganggap bahwa saya juga punya kekeliruan di dalam proses administrasi hukum yang sedang berjalan pada saat itu,” jawab Firdaus.
Baca Juga:
Rangkap Jabatan Advokat dan Pejabat Negara Dipersoalkan di MK
Ia kemudian menambahkan bahwa pembekuan sumpah yang membuatnya tidak bisa bersidang selama berbulan-bulan ia anggap sebagai bentuk hukuman.
“Kalau 7 bulan atau 8 bulan ini saya disandra karena saya tidak bisa bersidang lagi akibat statement dari humas Mahkamah Agung itu saya anggap hukuman bagi saya hanya itu aja permintaan saya agar saya bisa bersidang kembali Yang Mulia,” ucapnya.
Majelis hakim memberikan waktu selama 14 hari atau maksimal Selasa (02/12/2025) untuk melengkapi dan memperbaiki gugatan tersebut.
Suhartoyo menegaskan bahwa MK hanya dapat menguji norma yang diduga bertentangan dengan UUD 1945.
Ia menyampaikan “Tapi supaya dipahami bahwa MK ini hanya bisa mengadili hal-hal yang berkaitan dengan konstitusionalitas norma jadi norma bisa kemudian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kalau memang itu bisa dibuktikan mengandung ketidakpastian hukum ketidakadilan dan sebagainya.”
Gugatan Firdaus terdaftar dengan nomor 217/PUU-XXIII/2025 dan mempersoalkan Pasal 7 ayat (3) serta Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dalam petitumnya ia meminta agar MK mengabulkan permohonannya secara keseluruhan.
Ia juga meminta Pasal 7 ayat (3) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai sebagai kewajiban organisasi advokat memberikan kesempatan pembelaan diri secara adil dan proporsional sebelum menjatuhkan sanksi.
Selain itu ia meminta Pasal 8 ayat (2) ditafsirkan secara tegas mengenai kewenangan organisasi advokat, Mahkamah Agung, dan Dewan Kehormatan terkait penindakan etik dan pembekuan berita acara sumpah advokat.
Firdaus juga memohon agar penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Banten nomor 52/KPT.W29/HM.1.1.1/II/2025 dinyatakan tidak memiliki dasar kewenangan dan bertentangan dengan UUD 1945.
Ia menutup petitumnya dengan permintaan agar putusan perkara ini dimuat dalam Berita Negara atau diputus seadil-adilnya apabila majelis berpendapat lain.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]