WahanaNews.co | Anggota Polri dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas Polri karena melanggar sumpah atau janji anggota Polri, sumpah atau janji jabatan, dan atau kode etik profesi Polri.
Demikian bunyi Pasal 13 ayat 1 PP No 1 Tahun 2003 yang dikenakan kepada Irjen Ferdy Sambo dalam Sidang Etik Polri pada Kamis (26/8/2022) lalu.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU, Korban Bertemu Hasyim di Sidang DKPP
Sidang etik adalah sidang yang digelar untuk melaksanakan penegakan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat Polri.
Dalam putusannya, Kabaintelkam yang sekaligus sebagai Ketua Sidang Komisi Kode Etik, Komjen Ahmad Dofiri menyatakan Irjen Ferdy Sambo secara sah dan meyakinkan melanggar 7 aturan terkait Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri seperti yang termaktub dalam Perpol Nomor 7 Tahun 2022.
Pelanggaran Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri yang dimaksud adalah:
Baca Juga:
Sidang Perdana Praperadilan Pungli Karutan, KPK Belum Bisa Hadiri
1. Jucto pasal 5 ayat 1 huruf B, “Setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan wajib menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri.”
2. Juncto Pasal 8 huruf B, “Setiap pejabat Polri dalam etika kepribadian wajib bertanggung jawab, jujur, disiplin, bekerjasama, adil, peduli, responsif, tegas, dan humanis.”
3. Juncto pasal 8 c angka 1, “Setiap pejabat Polri dalam etika kepribadian wajib mentaati dan menghormati norma hukum.”
4. Juncto Pasal 10 ayat 1 huruf F, “Setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan dilarang melakukan permufakatan pelanggaran KEPP, atau disiplin atau tindak pidana.”
5. Juncto Pasal 11 ayat 1 huruf A, “Setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai atasan dilarang memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan.”
6. Juncto Pasal 11 ayat 1 huruf B, “Setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai atasan dilarang menggunakan wewenangnya secara tidak bertanggung jawab.”
7. Juncto Pasal 11 ayat 1 huruf B, “Setiap pejabat Polri, dalam etika kepribadian dilarang melakukan tindakan kekerasan, berperilaku kasar, dan tidak patut.”
Atas dasar itulah Komisi Kode Etik Polri menjatuhkan sanksi terhadap Irjen Ferdy Sambo.
"Sanksi bersifat etika yakni perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela dan sanksi administrasi, pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH sebagai anggota Polri," kata Ahmad Dofiri.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai hasil sidang etik tersebut merupakan keputusan tepat. Apa yang dilakukan tersangka FS (Ferdy Sambo) dalam kasus pembunuhan Brigadir J memang perbuatan tercela.
Melanggar norma-norma kesusilaan, norma adab, dan etika kepolisian. FS bersikap tidak jujur, melempar tanggung jawab, mengajak orang lain menutup kejahatan, dan tidak mampu memberikan keteladanan sebagai seorang pimpinan.
“Dampak dari tindakan-tidakan itu sangat fatal, menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi Polri, Nama Polri jadi rusak karena perbuatan FS. Ini pelanggaran berat yang patut diganjar dengan pemberhentian tidak dengan hormat,” katanya kepada VOI, Jumat (26/8).
Mengajukan Banding
Menanggapi putusan tersebut, Irjen Ferdy Sambo tidak menampik dan mengakui kesalahannya.
Namun, dia berupaya mengajukan banding.
“Kami mengakui semua perbuatan yang telah kami lakukan terhadap institusi Polri. Namun, mohon izin, sesuai dengan Pasal 29 PP 7 Tahun 2022, izinkan kami mengajukan banding, apa pun keputusan banding kami siap untuk laksanakan," kata Irjen Ferdy Sambo di hadapan majelis sidang etik Polri, Kamis (25/8).
Ketua Sidang Komisi Kode Etik memberi waktu tiga hari untuk Irjen Ferdy Sambo mengajukan banding dalam bentuk banding tertulis.
Pengajuan banding akan diproses selama 21 hari kerja.
“Apakah keputusannya tersebut sama dengan yang disampaikan pada hari ini atau ada perubahan, lihat nanti. Yang jelas yang bersangkutan sudah menerima apapun keputusan yang akan diambil sidang bandingnya," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, Jumat (26/8/2-22).
Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai Langkah Irjen Ferdy Sambo mengajukan banding tentu tak lepas dari kehormatannya sebagai perwira tinggi Polri.
Bila diberhentikan secara tidak hormat, Irjen Ferdy Sambo tentu tidak memiliki kehormatan, terlebih kasus yang menjeratnya adalah pembunuhan ajudannya sendiri.
Namanya sebagai perwira tinggi Polri jelas tercoreng
Itulah mengapa, Irjen Ferdy Sambo sempat mengajukan pengunduran diri satu hari sebelum sidang etik digelar.
Bila bisa mengundurkan diri, dia mungkin masih memiliki kehormatan sebagai anggota Polri.
“Jadi, saya rasa kalau untuk FS ini bukan soal dapat atau tidak pensiun. Apa sih pensiun cuma seemprit, iya kan, tapi soal kehormatan. Apalagi, saat kasus terjadi, dia menjabat sebagai Kadiv Propam, istilahnya polisinya polisi,” kata Fickar kepada media, Jumat (26/8/2022).
Tergantung Presiden
Mengajukan banding memang hak dari Irjen Ferdy Sambo. Kendati begitu, menurut Fickar, kemungkinan berhasil sangat kecil.
Dalam hukum administrasi negara, pejabat Polri setingkat eselon 1 diangkat melalui Keputusan Presiden.
Artinya, pengajuan banding tersebut akan disetujui atau tidaknya lewat Keputusan Presiden.
“FS diberhentikan oleh Kapolri lewat putusan dewan etik. Yang menindaklanjuti keputusan dewan etik itu Presiden,” kata Fickar.
Pertanyaannya apakah presiden akan menyetujui? Apalagi sebelumnya, Presiden Jokowi berulang kali melontarkan statement agar kasus pembunuhan Brigadir J diungkap secara jelas dan transparan. Tidak ditutup-tutupi, ungkap kebenaran apa adanya.
“Mungkinkah itu bisa berhasil ya tergantung Presiden. Selama ini, Presiden selalu berpendapat buka seterang-terangnya, mau gak Presiden membatalkan keputusan Kapolri melalui dewan etiknya ini. Kalau menurut saya tidak mungkin. Tapi enggak tahu kalau Presiden punya pertimbangan lain,” terangnya.
Di sisi lain, lanjut Fickar, upaya pengajuan banding ini jelas bukan untuk mencari celah untuk mengurangi hukuman dari pasal yang disangkakan kepada Irjen Ferdy Sambo.
“Beda cerita kalau itu. Meskipun istrinya mungkin benar dilecehkan, tapi tidak bisa diproses hukum juga, karena tersangkanya sudah tidak ada. Jadi, saya yakin itu tidak akan meringankan hukuman,” ucapnya.
Memang di dalam peradilan pidana, ada istilah putusan bisa dipengaruhi faktor-faktor yang memberatkan dan faktor-faktor yang meringankan. Apa yang bisa meringankan? Kalau tindak pidana mengenai harta kekayaan.
“Dengan membayar ganti rugi itu bisa meringankan karena kerugiannya sudah dibayar, karena di dalam satu tindakan ada dua aspek, tindakannya sendiri pidana, akibatnya atau kerugiannya perdata,” jelasnya.
Namun, kalau tindak pidana yang menghilangkan nyawa orang lain, kemungkinannya sangat kecil, kecuali membunuh orang dalam kondisi perang atau dalam kondisi membela diri.
“Misal, Bharada E. Jika dia bisa membuktikan ancaman dari FS bahwa dia akan ditembak kalau tidak lakukan perintah ini bisa menjadi hal yang meringankan atau menghapuskan hukuman. Atas perintah dan ancaman,” tuturnya.
Realitasnya bahkan bukan meringankan, justru malah bertambah berat karena selain dugaan pembunuhan, FS juga diduga melakukan rekayasa atau obstruction of justice. Hukuman minimal 9 bulan dan maksimal 1 tahun 8 bulan penjara.
“Hukuman itu ditambahkan nanti, kecuali kalau vonisnya hukuman mati atau seumur hidup, ya tidak perlu ditambahkan lagi. Namun, semua tergantung kewenangan hakim. Orang boleh berusaha, tapi dari apa yang dilakukan agak sulit untuk dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan,” ujar Fickar menandaskan. [Tio]