“Kalau sampai itu terjadi, berarti advokat itu berada di dalam kekuasaan pemerintah, dia bisa dikontrol pemerintah. Yang jadi korban itu adalah pencari keadilan, klien-klien kita ini, masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Hakim Agung Gayus T Lumbuun selaku narasumber dalam seminar yang dihelat dalam rakernas menilai single bar tapi rasa multibar terjadi karena adanya Surat Mahkamah Agung No 73 Tahun 2015. Berbekal surat itu pengadilan tinggi (PT) pun bisa mengambil sumpah calon advokat di luar dari Peradi.
Baca Juga:
DPC PERADI Kabupaten Bogor 2024-2028 Dilantik Luhut M.P. Pangaribuan
“Surat Ketua Mahkamah Agung yang menjadi cikal bakal persoalan sehingga menjadikan provokasi menurut saya, ini membangkang.”
Ia menegaskan, surat tersebut mengangkangi UU Advokat serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tegas menyatakan bahwa hanya ada wadah tunggal organisasi advokat, yakni Peradi.Dengan demikian, kata dia, organisasi lain di luar Peradi yang menjalankan kewenangan negara, seperti mengangkat advokat adalah ilegal.
“Adanya organisasi advokat yang lain tentu ini bertentangan dengan UU Advokat dan putusan MK,” terang dia.
Baca Juga:
Prof Otto Hasibuan Komprehensif Bahas Pentingnya Single Bar di Depan Ketua MA
Narsumber selanjutnya, Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyampaikan single bar adalah alternatif yang terbaik dan menjadikan advokat dan organisasinya setara dengan penegak hukum lainnya
“Daya tawar kita (advokat) akan semakin lemah kalau konsepnya tidak single bar, karena sulit sekali kita mencari standar, baik individu maupun organisasinya. Jadi politik hukum kita mendorong single bar,” katanya.
Sedangan dua narasumber lain, yakni dosen Fakultas Hukum (FH) Univesitas Islam Indonesia (UII) Muhammad Arif Setiawan dan pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid menyatakan, single bar sudah final karena UU Advokat menyatakan demikian. Ini hanya tinggal implementasinya yang masih bertentangan.