WahanaNews.co | Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap pembebasan bersyarat Pinangki Sirna Malasari dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) semakin melengkapi keistimewaan proses hukum eks jaksa tersebut.
Sebab di luar pembebasan bersyarat, kata ICW, publik tentu ingat betapa bobroknya Kejaksaan Agung dalam menangani kasus Pinangki Sirna Malasari yang menjadi makelar kasus koruptor Djoko Tjandra.
Baca Juga:
Jaksa Tolak Pleidoi, Kuasa Hukum Supriyani Tetap Yakin Akan Putusan Bebas
Demikian Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, Kamis (8/9/2022).
“Jangan lupa, selain kado berupa kebebasan menghirup udara segar di luar lembaga pemasyarakatan, masyarakat tidak akan pernah lupa betapa bobroknya Kejaksaan Agung saat menangani perkaranya,” ucap Kurnia, Kamis (8/9/2022).
ICW pun membeberkan bobroknya Kejaksaan Agung ketika tangani perkara Pinangki Sirna Malasari.
Baca Juga:
Jaksa Bidik Proyek PSU Milik Suku Dinas PRKP Jakarta Pusat
Mulai dari mencuatnya gagasan ingin memberikan bantuan hukum kepada Pinangki, resistensi Korps Adhyaksa dari Komisi Kejaksaan, sengkarut koordinasi dengan KPK, hingga tuntutan yang sangat ringan.
“Selain itu, penting bagi masyarakat ingat bahwa Pinangki tidak hanya terlibat dalam satu jenis kejahatan, melainkan tiga sekaligus. Di antaranya penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang,” ujar Kurnia Ramadhana.
“Dengan kondisi seperti itu tentu tuntutan ringan, diskon hukuman, dan percepatan keluarnya Pinangki dari lembaga pemasyarakatan sulit diterima akal sehat masyarakat.”
Kurnia pun menuturkan spesifik permasalahan pembebasan bersyarat Pinangki, sumber persoalannya ada tiga.
Yakni, kejanggalan proses hukum di Kejaksaan, rendahnya hukuman di lembaga kekuasaan kehakiman, dan sudah barang tentu substansi perubahan UU Pemasyarakatan yang menghapus ketentuan Justice Collaborator sebagai syarat memperoleh pembebasan bersyarat.
“Jika saja semua berjalan normal, Kejaksaan profesional, pengadilan objektif, dan UU Pemasyarakatan serta PP 99/2012 masih berlaku, maka kami yakin Pinangki akan mendekam, setidaknya 20 tahun lamanya di dalam penjara,” kata Kurnia Ramadhana.
Sebelumnya, Pinangki Sirna Malasari divonis 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan pada 8 Februari 2021.
Ia terbukti melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsider Pasal 11 UU Tipikor. Kedua, Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang serta didakwa terkait pemufakatan jahat pada Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor.
Vonis tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan tuntutan jaksa terhadap Pinangki Sirna Malasari yang didakwa pasal berlapis, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Namun, Pinangki ketika itu mengajukan banding atas vonis hakim tipikor dan di tingkat banding hakim memangkas hukumannya menjadi sesuai tuntutan jaksa.
Atas putusan di tingkat banding, Kejaksaan Agung yang didorong untuk melanjutkan ke tahap kasasi tidak merespons.
Bahkan sempat diberitakan KOMPAS TV, Kejaksaan Agung juga tidak langsung mengeksekusi Pinangki dari Rutan Kejaksaan Agung ke Lapas Wanita meski sudah ada putusan.
Sehingga ICW, sebagaimana disampaikan Peneliti Lalola Easter, merasa ada selubung besar yang belum terungkap di kasus Pinangki.
“Ada selubung besar yang rasanya belum berhasil disingkap dan mungkin juga itu karena ada konflik kepentingan dalam penegakan hukum atas Jaksa Pinangki Sirna Malasari,” ucap Lalola Easter, Selasa (19/10/2021).
Kini, bekas jaksa itu bebas bersyarat. Sejarah pun mencatat, Pinangki adalah narapidana korupsi yang hukumannya paling singkat. [qnt]