"Mereka yang kerap dijuluki 'crazy rich' ini patut diduga melakukan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari investasi bodong dengan skema Ponzi," ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dikutip dari Antara, Minggu (6/3).
Dia mengatakan, dugaan melakukan penipuan semakin menguat.
Baca Juga:
Jerat Eks Pegawai MA Zarof Ricar, Kejagung Buka Peluang Lewat TPPU Gratifikasi Rp920 Miliar
Tak hanya dari deteksi aliran dana investasi bodong yang dijalaninya, namun juga nampak dari kepemilikan berbagai barang mewah yang ternyata belum semuanya dilaporkan oleh penyedia barang dan jasa dimana mereka membeli.
"Setiap penyedia barang dan jasa wajib melaporkan laporan transaksi pengguna jasanya atau pelanggan kepada PPATK, dengan mempedomani penerapan prinsip mengenali pengguna jasa yang telah diatur dalam peraturan PPATK," kata Kepala PPATK.
Dalam melaporkan berbagai jenis laporan yang telah diatur oleh negara, peran pihak pelapor PPATK sangatlah penting dan krusial, tak terkecuali penyedia barang dan jasa.
Baca Juga:
Kejagung Ungguli KPK dalam Mengusut Kasus Korupsi dan TPPU
Pihak pelapor, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mengatur secara tegas pengenaan sanksi bila tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (TPPU-PT).
Para penyedia barang dan jasa/lainnya (PBJ) merupakan pihak pelapor yang wajib menyampaikan laporan transaksi kepada PPATK. Hal ini merupakan prinsip dasar pencegahan dan pemberantasan TPPU-PT yang menjadi international best practices.