WahanaNews.co | Jaksa penuntut umum (JPU) pada
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat memutuskan tidak mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung atas vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Pinangki Sirna
Malasari.
Dengan
begitu, Pinangki mendapatkan hukuman rendah, yakni hanya 4 tahun penjara
berdasarkan putusan pengadilan tinggi.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi Impor Gula, Kejagung Periksa Eks Stafsus Mendag
"JPU
tidak mengajukan permohonan kasasi," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat, Riono Budisantoso, saat dihubungi wartawan, Senin (5/7/2021).
Riono
mengungkapkan, jaksa berpandangan bahwa tuntutan jaksa penuntut umum telah
dipenuhi dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Selain
itu, tidak ada alasan untuk mengajukan permohonan kasasi sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 253 Ayat (1) KUHAP.
Baca Juga:
Korban DNA Pro Menangis Minta Keadilan di Kejari Bandung: Desak agar Uang Sitaan segera Dikembalikan
"JPU
berpandangan bahwa tuntutan JPU telah dipenuhi dalam putusan pengadilan
tinggi," ujar dia.
Pinangki
divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta oleh majelis hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Februari lalu.
Ia
dinilai bersalah melakukan tindak pidana suap, pencucian uang, dan pemufakatan
jahat dalam perkara terpidana korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko S Tjandra.
Vonis
tersebut lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta agar
Pinangki divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Pinangki
kemudian melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Majelis
hakim mengabulkan permohonan banding itu dan memangkas hukuman Pinangki selama
10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Beberapa
pertimbangan majelis hakim, di antaranya, karena Pinangki merupakan ibu dari
anak balita berusia 4 tahun.
Selain
itu, majelis hakim mempertimbangkan Pinangki sebagai perempuan yang harus
mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil.
Kejaksaan Lindungi
Pinangki
Peneliti
Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia
Ramadhana, berpendapat, jika Kejaksaan Agung tak mengajukan kasasi,
berarti benar bahwa ada upaya untuk melindungi Pinangki.
Pinangki
menjabat sebagai Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan ketika
terlibat dalam perkara terpidana Djoko Tjandra.
"Jika
tidak (mengajukan kasasi), maka dugaan publik selama ini kian terkonfirmasi
bahwa Kejaksaan Agung sedari awal memang ingin melindungi dan berharap agar
Pinangki dihukum rendah," kata Kurnia, saat dihubungi wartawan, Senin
(5/7/2021).
Menurut
Kurnia, Pinangki layak mendapatkan hukuman berat.
Sebab,
selain merupakan penegak hukum, Pinangki melakukan tiga tindak pidana sekaligus.
"Yaitu
suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Lebih miris lagi, terdakwa
menjalankan praktik korupsi guna membantu buronan korupsi yang sedang dicari
oleh Kejaksaan Agung, Djoko S Tjandra," ujar dia.
Sembunyikan
King Maker
Koordinator
Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman,
menduga ada upaya menutupi peran king
maker dalam perkara yang bertalian dengan terpidana Djoko Tjandra tersebut.
Dugaan
atas sosok king maker ini muncul saat
majelis hakim membacakan vonis terhadap Pinangki.
Menurut
majelis hakim Pengadilan Tipikor, keberadaan king maker terbukti berdasarkan percakapan di aplikasi WhatsApp yang dibenarkan oleh Pinangki,
saksi Anita Kolopaking, serta saksi Rahmat.
Sosok king maker disebut-sebut membantu
Pinangki dan seorang saksi bernama Rahmat menemui Djoko Tjandra untuk membahas
pengurusan fatwa di MA.
"Saya menduga, ini ada upaya untuk menutupi peran king maker dalam kasus terkait Pinangki. Salah satu kunci king maker itu ada di Pinangki,"
kata Boyamin, saat dihubungi wartawan, Senin (5/7/2021).
Menurut
Boyamin, rendahnya hukuman terhadap Pinangki juga menimbulkan ketidakadilan
terhadap terdakwa lain dalam perkara ini.
Ia
membandingan hukuman Pinangki dengan dengan perantara suap Andi Irfan Jaya dan
Djoko Tjandra sebagai pemberi suap.
Andi
divonis 6 tahun dan Djoko Tjandra dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan.
Sementara
itu, Pinangki hanya dihukum 4 tahun penjara.
Menurut
dia, dalam konteks hukum di Indonesia, penerima suap semestinya mendapatkan
hukuman lebih berat dibandingkan dengan pemberi suap dan perantara.
"Ini
mestinya jadi alasan Kejaksaan mengajukan kasasi. Karena tidak mungkin jadi terbalik
ketika vonis penjaranya terjadi perbedaan dan yang menerima suap lebih
rendah," ucap dia. [dhn]