“Namun, hanya sebagian kecil dari korban yang berhasil mendapatkan layanan. Angka korban yang terlayani melalui lembaga seperti UPTD PPA masih sangat kecil dibandingkan jumlah kasus empiris. Hal ini menunjukkan perlunya pengembangan layanan yang lebih luas dan merata,” ungkapnya.
Kemen PPPA juga menyoroti berbagai bentuk kekerasan, mulai dari fisik hingga emosional, serta perlunya upaya penanganan yang melibatkan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan lembaga terkait.
Baca Juga:
Menteri PPPA Kawal Kasus Kekerasan Anak di Banyuwangi
Untuk itu, pemerintah menetapkan target seluruh daerah memiliki UPTD PPA yang berfungsi penuh pada tahun 2025. Fungsi UPTD PPA sendiri terus diperbarui, dari yang semula hanya memiliki enam fungsi, kini jumlahnya bertambah menjadi sebelas, mencakup aspek penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban. Penyelarasan peran ini diharapkan dapat meningkatkan akses korban terhadap layanan.
Selain itu, Kemen PPPA juga menggandeng instansi vertikal di daerah untuk memberikan informasi terpadu kepada korban kekerasan seksual. Sinergi ini diharapkan dapat menjangkau lebih banyak korban, terutama di wilayah dengan angka kekerasan tinggi.
“Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah rendahnya pelaporan kasus kekerasan. Fenomena “gunung es” ini mencerminkan bahwa jumlah kasus yang terlapor jauh lebih kecil dibandingkan kasus sebenarnya. Pelaku kekerasan sering kali adalah orang terdekat korban, sehingga sulit bagi korban untuk melapor. Karena itu, edukasi kepada masyarakat menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran akan pelaporan kasus,” jelas Agung.
Baca Juga:
Kemen PPPA Kawal Kasus Penyekapan Anak di Jakarta
Peningkatan kualitas sumber daya manusia di UPTD PPA juga menjadi perhatian. Pemerintah tengah memfinalisasi peraturan terkait penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi petugas UPTD PPA untuk meningkatkan profesionalisme dan efektivitas layanan.
Dari sisi regulasi, Kemen PPPA menyebutkan bahwa peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Perpres memberikan landasan kuat bagi daerah untuk menjalankan layanan perlindungan. Mekanisme ini juga mencakup penanganan korban hingga rehabilitasi pelaku kekerasan.
“Kekerasan seksual adalah kejahatan serius yang membutuhkan penanganan menyeluruh. Pemerintah memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan semua korban mendapatkan hak mereka,” jelasnya.