Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo menetapkan di masa kepemimpinannya akan diarahkan untuk membangun SDM Indonesia yang unggul. Di mana, diterjemahkan dengan menghasilkan manusia Indonesia yang profesional, produktif, inovatif, mampu bersaing, dan berkepribadian Indonesia.
Akan tetapi, pembangunan SDM Indonesia menghadapi tantangan berat berupa hampir 90 persen angkatan kerja di Indonesia berpendidikan setingkat SMA ke bawah. Oleh karena itu, membuka kemudahan akses memperoleh pendidikan perguruan tinggi menjadi krusial demi menyongsong era Indonesia Emas 2045.
Baca Juga:
Soroti Mahalnya UKT, Komisi X ke Kemendikbudristek: Orang Miskin Tak Boleh Kuliah?
Namun, polemik isu UKT Perguruan Tinggi yang tinggi menyebabkan sejumlah kendala untuk mewujudkan hal tersebut. Berdasarkan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, besaran UKT ditetapkan oleh pemimpin PTN bagi semua mahasiswa dari setiap jalur penerimaan.
Walaupun begitu, besaran nilai UKT yang dibebankan kepada calon mahasiswa bukan ditentukan berdasarkan jalur penerimaan. Akan tetapi, ditentukan berdasarkan pada pertimbangan ekonomi pihak yang akan membiayai pendidikan tersebut seperti orang tua.
Sesdirjen Diktiristek Kemendikbudristek Tjitjik Srie Tjahjandarie meluruskan, mahasiswa yang membayar UKT kategori tinggi bukan untuk mensubsidi mahasiswa lain di UKT yang lebih rendah. Ketetapan UKT, jelasnya, berkaitan dengan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang merupakan unit cost pembiayaan pendidikan mahasiswa per tahun.
Baca Juga:
Dapat Medali Emas, Timnas Indonesia Dipuji Komisi X DPR RI
Sehingga, mahasiswa yang membayar UKT tertinggi tidak memperoleh subdisi dari pemerintah. Sedangkan, mahasiswa yang UKT yang berada pada kategori rendah, mendapatkan subsidi melalui pendanaan APBN (BPPTNBH) dari pemerintah. [sdy]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.