"Gunakan wibawa yang diberikan UU itu untuk membangun kedisiplinan yang masif, ini yang dimaksud sistem integritas," ucapnya.
Merespons pernyataan dan argumentasi Fahri itu, Novel mengaku melihat banyak hal buruk yang lahir akibat revisi UU KPK pada 2019 silam.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Salah satunya, kata dia, langkah memberikan KPK kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Menurutnya, langkah itu justru membuka peluang permainan perkara di KPK.
"Dari perubahan UU ini saya justru tidak melihat dari sisi baiknya. Saya pernah berupaya mengkaji, di situ banyak sekali, sisi buruknya banyak sekali. Contohnya, membuka peluang adanya SP3 di KPK, itu justru membuka peluang permainan perkara," kata mantan polisi tersebut.
Novel kemudian menyoroti tentang perilaku perebutan menjadi pejabat di tengah situasi politik berbiaya tinggi saat ini.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Menurutnya, hal itu terjadi karena ada orang yang berpikir bisa mendapatkan uang untuk mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan setelah menjadi pejabat.
"Saya ingin menggunakan analogi Bang Fahri tadi mengenai politik biaya tinggi. Kenapa itu kemudian tetap buat orang berebut jadi pejabat. Saya melihatnya, ketika orang kemudian berpikir jadi pejabat, itu peluang untuk mendapatkan uang untuk pengembalian biaya politik itu bisa dilakukan, dia akan ambil itu," katanya.
Selain itu, Novel berkata, perilaku perebutan menjadi pejabat di tengah situasi politik berbiaya tinggi masih terjadi karena melihat risiko hukum yang kecil.