Guntur membacakan apabila dibuka kekuasaan untuk mengajukan PK lebih dari satu kali untuk perkara selain pidana, maka akan mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi lama dan tidak akan pernah selesai yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
Mahkamah berpendapat jika badan atau pejabat TUN diberikan kesempatan untuk PK, maka akan keluar dari cita-cita pembentukannya sebagai pelindung masyarakat.
Baca Juga:
Permohonan PK Jessica Wongso Diproses PN Jakarta Pusat
"Apabila Badan atau Pejabat TUN yang kalah masih diberikan kesempatan, quad non untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam norma Pasal 132 ayat (1) UU 5/1986, maka hal itu menunjukkan bahwa Badan atau Pejabat TUN yang kalah tersebut telah menggeser keluar dari "khitah" eksistensi TUN sebagai instrument perlindungan hukum bagi warga Masyarakat. Sehingga, kondisi demikian, bersifat kontraproduktif dan sesungguhnya tidak lagi sejalan dengan tujuan awal pembentukan PTUN," tutur Guntur.
Menurut MK, pengajuan PK seharusnya tidak diberikan kepada pejabat atau badan TUN yang keputusan ataupun tindakannya menjadi obyek sengketa lalu dinyatakan kalah oleh PTUN.
Baca Juga:
KPK Beberkan Alasan Periksa WN Jepang Dugaan Korupsi LNG
Ihwal tersebut, penting bagi MK untuk menegaskan karena selain PK yang diajukan badan atau pejabat TUN yang cenderung bersifat menunda pelaksanaan putusan PTUN dan berujung pada tertundanya keadilan, juga bersifat kontraproduktif bagi ikhtiar penegakan hukum di bidang tata usaha negara.
"Badan atau pejabat TUN dimaksud memiliki kewajiban hukum (wettelijeke verplictingen) untuk segera menindaklanjuti atau mengeksekusi langsung putusan PTUN yang telah inkracht," tutur Guntur membacakan pertimbangan mahkamah.
Dalam putusan itu ada dua hakim yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan ini. Mereka adalah Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Pada intinya, dua hakim itu dalam dissenting opinion-nya ingin permohonan ditolak saja oleh MK.