WahanaNews.co | Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait pokok perkara Presidential Threshold. Putusan tersebut dibacakan Ketua MK Anwar Usman yang didampingi anggotanya Soehatoyo, Arief Hidayat, Wadiddun Adams dan Enny Nurbaningsih.
"Mengadili menolak permohonan pada pemohon seluruhnya," ujar Anwar dalam sidang di MK yang disiarkan langsung di YouTube Kamis (29/9/2022).
Baca Juga:
Babak Baru UU Cipta Kerja: MK Menangkan Gugatan, Revisi Menyeluruh Segera Dilakukan
Diketahui, gugatan 73/PUU-XX/2022 itu diajukan oleh Presiden DPP PKS Ahmad Syaikhu beserta jajarannya Aboe Bakar dan Salim Segaf Aljufri. Mereka mengajukan permohonan pengujian pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terhadap UUD RI 1945.
Pada pasal itu berbunyi “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Pada permohonannya, PKS meminta agar angka Presidential Threshold 20% diturunkan menjadi 7-9%. Namun hakim tetap pada pendiriannya kalau Presidential Threshold tetap 20%.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, sehingga Mahkamah berpendapat, tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya," ucap hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang.
Enny menjelaskan berkenaan dengan dalil para pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk mempersempit (narrowing) pembatasan pelaksanaan open legal policy melalui interval range angka ambang batas.
Kemudian, menyeimbangkan penguatan sistem presidensial dan demokrasi/kedaulatan rakyat, serta penentuan interval range angka ambang batas berbasis kajian ilmiah melalui penghitungan indeks Effective Numbers of Parliamentary Parties (ENPP).
Pada pokoknya Mahkamah mengapresiasi apapun bentuk kajian ilmiah yang akan digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam menentukan besaran angka ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik. Namun demikian, hal tersebut bukan ranah kewenangan Mahkamah untuk memutusnya.
"Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Enny.
Adapun perbedaan antara argumentasi dalil para Pemohon a quo dengan permohonan-permohonan sebelumnya yakni yang pada pokoknya menyatakan ketentuan presidential threshold tersebut perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional dan implementatif. Sehingga tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon.
Enny dalam sidang menjelaskan kalau Mahkamah tidak memiliki kewenangan dalam merubah besaran angka ambang batas presidential threshold. Hal tersebut pun juga ditegaskan oleh para pemohon dalam permohonanannya merupakan kebijakan terbuka.
"Sehingga menjadi kewenangan para pembentuk undang-undang, yakni antara DPR dengan Presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan proses legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut," jelasnya. [rin]