WahanaNews.co, Jakarta - Rullyandi Muhammad pakar hukum tata negara angkat bicara mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat capres dan cawapres maju Pilpres 2024 paling rendah usia 40 tahun dan atau pernah/sedang menduduki jabatan kepala daerah.
Putusan MK tersebut menjadi polemik hingga sejumlah hakim konstitusi MK dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Rullyandi menuturkan, laporan itu belum memenuhi unsur pelanggaran etik. Sebab, menurutnya, independensi dan kewenangan MK masih terjaga.
Baca Juga:
Advokat Cinta Tanah Air: Anwar Usman Sedang Jadi Korban Pembunuhan Karakter Sadis
"Mencermati dinamika perdebatan putusan MK dalam ranah pelanggaran etik yang sedang berproses di MKMK terhadap putusan yang mengabulkan batas usia capres dan cawapres belum terpenuhi adanya pelanggaran etik terhadap Ketua MK dalam arti Putusan MK tersebut masih dalam koridor terjaganya marwah independensi dan kewenangan MK," ujar Rullyandi dalam keterangannya, Rabu (25/10/2023).
Menurutnya, tidak ada masalah jika MK menambahkan norma baru dalam putusannya. Sebab, MK merupakan lembaga penjaga konstitusi yang memiliki sistem kekuasaan kehakiman yang berbeda.
"Hal ini menyangkut adanya perdebatan dalam Putusan MK dengan menambah rumusan norma baru yang sejatinya adalah sah dalam ranah kewenangan MK karena keberadaan MK dimaksudkan sebagai lembaga the guardian of constitution yang memiliki karakteristik yang berbeda dalam sistem kekuasaan kehakiman pada umumnya," ujarnya.
Baca Juga:
I Dewa Gede Palguna Sebut Wewenang MKMK Terbatas, Tak Bisa 'Masuk' ke Putusan
Pengajar di Universitas Jayabaya itu mengatakan putusan MK merupakan pengujian suatu norma undang-undang yang bersifat abstrak, tidak dikenal dengan sistem pengujian mengadili suatu fakta hukum atau adanya kepentingan sengketa hukum para pihak yang lazim ditemukan dalam sistem peradilan umum. Oleh karena itu, utusan MK dalam pengujian norma suatu undang-undang bersifat final dan wajib mengikat kepada semua warga negara, badan hukum, organ negara, instansi, dan pemerintah, termasuk presiden.
Selain itu, Rullyandi menyatakan, MK tidak hanya memutuskan ada atau tidaknya pertentangan terhadap UUD 1945, tapi juga bisa memberi penafsiran keadaan konstitusional bersyarat.
"MK dalam hukum acara dan praktik pengujian undang-undang dibenarkan tidak hanya menyatakan adanya pertentangan terhadap konstitusi UUD namun dalam batas penalaran yang wajar MK juga dapat menguji suatu norma undang-undang yang sifatnya memerlukan penafsiran keadaan konstitusional bersyarat untuk menjamin hak konstitusional sebagai norma hukum tertinggi di dalam konstitusi UUD yang melahirkan Putusan MK dengan berdampak pada amar putusan yang memuat suatu diktum adanya rumusan norma hukum baru," katanya.
Selain itu, ia menilai putusan MK yang mengabulkan tentang batas usia capres-cawapres itu tidak bisa dihubungkan dengan dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK yang merupakan ipar Presiden. Sebab, menurutnya, objek yang diadili MK bukan dikhususkan untuk kepentingan 1 orang saja, melainkan memberikan hak bagi WNI yang ingin mencalonkan sebagai capres dan cawapres.
"Dalam kaitan putusan MK yang mengabulkan tentang batas usia capres dan cawapres tidak dapat dihubungkan adanya dugaan konflik kepentingan dengan Ketua MK yang merupakan keluarga Presiden," katanya.
"Karena objek yang diadili MK adalah suatu norma hukum yang bersifat abstrak yang pada hakikatnya maksud dibentuknya norma tersebut semata-mata merupakan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil sebagai hak konstitusional bukan untuk di khususkan terhadap kepentingan 1 orang saja tetapi merupakan hak setiap warga negara yang hendak mencalonkan diri menjadi calon presiden atau wakil presiden," imbuhnya.
Rullyandi menilai, dalam putusan tersebut, tidak ditemukan adanya kalimat intervensi. Dengan demikian menurutnya prinsip independensi hakim MK masih terjaga.
Maka lahirnya putusan MK tersebut perlu dicermati pada bagian pertimbangan hukum yang menerima permohonan dengan mengabulkan, namun tidak ditemukan adanya kalimat intervensi diantara hakim yang mayoritas menerima mengabulkan dalam amar putusan sehingga prinsip independensi hakim MK masih terjaga murni dalam bingkai kekuasaan kehakiman yang merdeka.
[Redaktur: Amanda Zubehor]