"Dalam praktiknya banyak penyidik memasukkan pasal 112 dengan hukuman minimal 4 tahun. Ini antara lain yang berkontribusi terhadap padatnya Lapas kita," kata Krisno Siregar, Kamis (16/9/2021).
Pada tahun 2014 lalu, Majelis Kasasi MA pernah menyatakan Pasal 112 sebagai pasal keranjang sampah dan pasal karet.
Baca Juga:
Sat Narkoba Polres Dairi Tangkap Petani yang Diduga Jadi Bandar Narkoba
Karena itu, Majelis Kasasi menolak memenuhi tuntutan jaksa agar menghukum 4 tahun narapidana narkoba asal Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Jaksa menjerat si napi dengan pasal 112 dan pasal 127 karena dianggap telah menguasai sabu seberat 0,0484 gram dan alat isap (bong).
Majelis Kasasi mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri bahwa terdakwa cuma layak dijerat dengan pasal 127, dan menghukumnya 1 tahun 10 bulan.
"Memang benar, para pengguna sebelum menggunakan narkotika, terlebih dahulu menyimpan atau menguasai, memiliki, membawa narkotika sehingga tidak selamanya harus diterapkan ketentuan pasal 112 UU Narkotika. Melainkan harus dipertimbangkan apa yang menjadi niat atau tujuan memiliki atau menguasai narkotika itu," demikian putusan majelis secara bulat.
Baca Juga:
Bahas Penguatan Kerja Sama Pemberantasan Narkoba, BNN Terima Kujungan AFP
Selain soal pasal ambigu, polisi berdalih tak semua daerah kabupaten/kota memiliki panti rehabilitasi. Karena itu, penyidik kesulitan untuk merehabilitasi pengguna narkoba yang ditangkap. Kalaupun ada panti rehabilitasi milik swasta, tentu biayanya lebih mahal.
"Kalau si korban dari golongan tidak mampu, lantas siapa yang harus menanggung biayanya," kata Krisno Siregar.
Sejauh ini, dia melanjutkan, para penyidik cuma diberi anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Tapi untuk biaya rehabilitasi belum pernah dianggarkan. Padahal biaya rehabilitasi seorang pengguna paling murah berkisar Rp 3-4 juta per bulan. Bandingkan dengan biaya makan para napi di dalam lapas yang tak sampai Rp 15 ribu per hari.