Dari kuota khusus itu, 9.222 diperuntukkan bagi jemaah dan 778 untuk petugas, sementara pengelolaan diserahkan kepada biro travel swasta.
Sedangkan kuota reguler 10.000 dibagikan ke 34 provinsi, dengan porsi terbanyak untuk Jawa Timur sebanyak 2.118, disusul Jawa Tengah 1.682, dan Jawa Barat 1.478.
Baca Juga:
KPK Tegaskan Pengawasan Ketat Program Makan Bergizi Gratis Rp170 Triliun
Namun, skema tersebut diduga menabrak Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 yang mengatur komposisi kuota 92 persen reguler dan 8 persen khusus.
Dari situ, praktik jual beli kuota haji khusus pun mencuat, melibatkan oknum pejabat Kemenag dan sejumlah biro travel.
Setoran kepada pejabat Kemenag disebut berkisar antara 2.600–7.000 dolar AS per kuota, atau sekitar Rp41,9 juta hingga Rp113 juta dengan kurs Rp16.144,45, melalui mekanisme pembayaran lewat asosiasi travel.
Baca Juga:
Nikita Mirzani Ngomel Rekening Dibongkar, Pakar Tegaskan Bank Berhak Buka Data
Uang setoran tersebut berasal dari calon jemaah yang dijanjikan bisa berangkat pada 2024 meski baru mendaftar, sehingga ribuan jemaah reguler yang sudah menunggu lama gagal berangkat karena kuotanya dipotong.
KPK juga menemukan bahwa sebagian uang hasil korupsi digunakan untuk membeli aset mewah, termasuk dua rumah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar yang disita pada Senin (8/9/2025).
Rumah tersebut diduga dibeli seorang pegawai Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag dengan dana hasil setoran pengusaha travel sebagai komitmen pembagian kuota tambahan.