WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mengungkapkan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang terbaru akan memperkuat peran advokat.
Dalam aturan baru tersebut, advokat tidak hanya berhak mendampingi tersangka, tetapi juga dapat mendampingi saksi dan korban dalam proses hukum.
Baca Juga:
RUU KUHAP: DPR Setuju Advokat Tak Bisa Dituntut Pidana saat Membela Klien
"Di KUHAP yang lama, advokat hanya mendampingi tersangka. Namun, dalam RKUHAP yang baru, advokat juga bisa mendampingi saksi dan korban," ujar Habiburokhman di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Sebagai contoh, ia menyinggung kasus mahasiswa yang ditangkap dan diperiksa karena bentrokan saat demonstrasi. Sebelumnya, mahasiswa yang berstatus saksi tidak dapat didampingi kuasa hukum dalam pemeriksaan awal.
"Dulu, kalau ada 15 mahasiswa yang ditangkap saat demo dan diperiksa sebagai saksi, mereka tidak bisa didampingi advokat. Baru ketika statusnya meningkat menjadi tersangka, pendampingan bisa dilakukan," jelasnya.
Baca Juga:
Polisi Total Tangkap 301 Orang Saat Demo Tolak RUU Pilkada di DPR
Namun, dengan RKUHAP yang baru, advokat berhak mendampingi saksi sejak awal pemeriksaan.
Selain itu, advokat juga memiliki kewenangan untuk mengajukan keberatan jika ditemukan adanya intimidasi selama proses pemeriksaan.
"Dalam KUHAP baru, advokat bisa menyampaikan keberatan jika ada intimidasi terhadap orang yang diperiksa," tambahnya.
Lebih lanjut, RKUHAP juga mengatur penerapan prinsip restorative justice dalam sistem peradilan.
Menurut Habiburokhman, pendekatan ini akan diutamakan dalam setiap tahapan proses hukum, mulai dari penyidikan hingga persidangan.
"Dalam restorative justice, penyelesaian perkara berorientasi pada pemulihan korban, bukan sekadar menghukum pelaku. Dengan pendekatan ini, pelaku dan korban dapat mencapai kesepakatan damai sehingga perkara bisa dihentikan," jelasnya.
Ia mencontohkan kasus seorang nenek yang didakwa karena mengambil kayu.
Dengan adanya RKUHAP, kasus-kasus serupa dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice, tanpa harus berakhir dengan hukuman.
"Kalau sekarang, kasus seperti ini bisa diselesaikan dengan restorative justice. Pengadilan bisa memutuskan bahwa perbuatan terbukti, tetapi dimaafkan sehingga pelaku tidak dikenai hukuman," pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]