WahanaNews.co, Jakarta - Zainal Arifin Mochtar, ahli Hukum Tata Negara, menyoroti keanehan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait dengan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pernyataan tersebut dilontarkan Zainal Arifin Mochtar sebagai tanggapan terhadap keputusan DKPP yang dikeluarkan pada Rabu (7/2/2024) untuk Ketua KPU dan enam anggota lainnya.
Baca Juga:
Warga Singkawang Desak Bawaslu Tindak Lanjuti Dugaan Politik Uang di Pemilu
Menurutnya, putusan tersebut tampaknya kurang jelas dan agak aneh, dengan ketidaksesuaian logika dan kesimpulan yang terdapat ketika dibaca secara detail.
“Karena logikanya mengatakan bahwa kelakuan KPU untuk mengesahkan Gibran tidak keliru, nggak ada dia sama sekali mengatakan mengesahkan Gibran itu adalah tindakan keliru, yang keliru itu adalah karena tidak mengaturnya, tidak membuat peraturan PKPU, mengubah PKPU untuk melakukan itu, jadi tidak sinkron, logikanya mengatakan tidak ada masalah dengan mengesahkan Gibran, tapi masalahnya adalah kenapa tidak bikin peraturan PKPU,” terangnya, melansir Kompas TV.
Menurut Zainal, DKPP harusnya menjelaskan makna putusan yang dibuatnya untuk komisioner dan Ketua KPU dalam konteks pendaftaran Gibran sebagai cawapres.
Baca Juga:
Pemkab Sigi: Peran Masyarakat Desa dalam Penanganan Stunting
“Kita secara logis agak bingung ini, makanya DKPP harus jelaskan, apa sih maksud putusannya? Kalau saya misalnya lebih baiknya langsung bilang, untuk mengatakan, ini tidak ada kaitannya dengan pencalonan Gibran misalnya, itu jauh lebih clear, dibanding kemudian bahasanya seakan-akan iya tapi kemudian menghukum,” ujar Zainal.
Dalam keterangannya, Zainal juga menyoroti rekam jejak DKPP yang memberikan peringatan keras terakhir untuk Hasyim Asy’ari sebelum perihal pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Zainal pun mempertanyakan makna peringatan keras yang digunakan DKPP untuk memberikan sanksi pelanggaran etik.
“Hasyim Asy’ari ini dijatuhin putusan sudah kali ketiga dan putusan kata-kata peringatan terakhir itu juga ada dalam putusan sebelumnya, jadi pertanyaan itu, mana yang terakhir?” tanya Zainal.
“Pertama kali, seingat saya, kalau saya keliru tolong diingatkan, seingatkan saya dalam kasus putusan dengan apa Wanita Emas, di situ putusannya peringatan keras terakhir, di situ putusannya seingat saya begitu, di putusan berikutnya yang soal mengabaikan keterwakilan perempuan, itu putusan peringatan keras, kali ini dapat peringatan keras terakhir lagi, di sini sebenarnya makna peringatan keras itu apa, karena kita nggak paham makna apa.”
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]