Tak berhenti di situ, Qohar mengungkapkan bahwa produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak akibat keputusan sebelumnya dalam Rapat Organisasi Hilir (ROH).
Penolakan ini didasarkan pada dalih bahwa produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, meskipun kenyataannya harga masih sesuai dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Baca Juga:
Putra Saudagar Minyak Riza Chalid Jadi Tersangka Korupsi Pertamina, Negara Tekor Rp193 Triliun
Selain itu, alasan lain yang digunakan adalah bahwa spesifikasi minyak mentah KKKS tidak sesuai, meskipun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
"Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan alasan tersebut, keputusan tersebut menjadi dasar bagi Indonesia untuk mengekspor minyak mentahnya," jelas Qohar.
Akibatnya, PT Kilang Pertamina terpaksa mengimpor minyak mentah, sementara PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga dalam negeri.
Baca Juga:
Kejagung Temukan Kerugian Negara Rp 193,7 Triliun di Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina
Dalam kegiatan ekspor minyak, diduga terjadi praktik curang di mana Rivai Siahaan, Sani Dinar Saifuddin, Agus Purwono, serta Dirut PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi, telah bersekongkol dalam menentukan harga dengan broker.
Broker yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini meliputi:
Muhammad Keery Andrianto Riza, pemilik manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa.